Ketika giliranku untuk mengemukakan hasil perenunganku selama 2 mingguan di AS, aku bilang bahwa,"telepon umum adalah hal yang paling membuatku sedih".
Ssshhhttt.... Tiba-tiba kelas senyap dan sepi karena ternganga mendengar pernyataanku itu.
"Mengapa bisa benda mati bagai telepon umum bisa membuatnya sangat sedih?" itulah yang ada di benak teman sekelas karena wajah mereka diliputi kebingungan.
Sesaat kemudian kukemukakan alasanku.
"Coba bayangkan, ketika kalian ingin mendengarkan suara keluarga, pacar atau teman, Anda rela membawa koin minimal 1 $. Namun, apabila sambungan telepon tidak juga mengantarkan kalian pada suara-suara yang kalian rindukan, Anda akan lebih sedih lagi saat mengetahui bahwa koin 1$ mu lenyap! Telepon umum tak peduli apakah telepon kalian tersambung atau tidak karena yang dia pedulikan adalah kalian telah mengganggu dia dari tongkrongannya! Aku pernah mencoba menelpon berkali-kali, 3 $ ludes tak tahu rimbanya meski teleponku tak tersambung sama sekali."
Sejurus kemudian perkataanku mulai menjalar ke dalam sistem otak mereka. Namun, bukannya sedih seperti yang kurasakan, mereka malah tertawa mendengar pernyataanku.
Aku tak mengerti mengapa kesedihanku ini malah disambut tawa gelak teman-teman. Tak kah mereka rasakan bahwa kehilangan uang 1$ bisa membuat mood seseorang kere sepertiku menjadi bete sebete-betenya? Sungguh, susah juga hidup menjadi orang miskin di negeri yang kaya raya ini. Tapi aku akhirnya sadar satu hal, orang yang bermental miskin akan meratapi koin yang terbuang bagaikan anak tiri yang disuruh menyuci di pinggir kali. Lain halnya dengan orang yang berjiwa kaya. Ia akan menyongsong dollar dengan semangat bagai anak tiri yang akhirnya dibawakan mesin cuci. Apakah majas simili-ku cukup mewakili apa yang kugambarkan? Jika tidak, semoga guru bahasa indonesiaku tidak membaca tulisan ini :)
*tulisan hampir 5 tahun lalu
Artikel Terkait
Tidak ada komentar :
Posting Komentar