Selasa, 20 Mei 2014

Di Suatu Pagi Saat Membeli Kopi....



Pagi tadi, aku mampir ke salah satu swalayan waralaba yang kini menjamur di berbagai pelosok kota untuk membeli kopi. Sebagai pecinta kopi murah, aku mengamati betul berbagai jenis kopi yang ada di toko tersebut berdasarkan harganya. Setelah berbagai pertimbangan, aku mencomot kapal api Fresco dengan pertimbangan beli 10 gratis 5 seharga Rp. 9.550. Aku langsung menaruhnya di meja kasir yang kemudian langsung discan oleh sang kasir. Namun yang mencengangkan adalah perkataan sang kasir, “ 10. 650 rupiah, mba..” 

Apa tadi aku salah lihat saat lihat harga? Awalnya aku langsung hendak membayar, namun karena moodku sedang di atas ubun-ubun, langsung saja aku labrak dia.

“Mba, di sana harganya 9.550 rupiah,” kataku sambil menunjuk tempat ngumpulnya para kopi.
“Itu mungkin harga kopi yang lain, mba” ujarnya dengan masih ramah.
“Aku cek dulu ya…”

Dengan harap-harap cemas aku kembali ke rak kopi. Ya Tuhan, kalau kasir itu benar, semoga harga di label tersebut berubah! Heheh.
Horeeee!!!! Aku benar! Dengan langkah penuh kemenangan, aku kembali ke kasir yang tengah sabar menungguku. Beruntung masih pagi, jadi tidak ada yang mengantri.

“Harganya memang 9.550 rupiah kok! Silakan mba cek!”
Kami berdua lalu kembali menyambangi tempat nongkrong si kopi. Kasir tersebut kemudian mencomot label harga kapal api fresco. Di komputer, ia meralat harga 10.650 menjadi sesuai dengan yang di label. Alhamdulillah, pagi-pagi ini aku bisa hemat seribu rupiah.

Beeeuuuhh…si Imas ini miskinnya kebangetan! Seribu aja pake diributin segala!

Well…duhai para pembaca yang budiman… memang mereka cuma melakukan kesalahan seharga seibu rupiah, tapi itu untuk satu barang! Ya, tadi pagi aku hanya membeli 1 renteng kopi, dan perbedaan harganya seribu rupiah! Coba kalo tadi aku membeli 20 barang, bisa jadi sebagian dari barang-barang tersebut memiliki perbedaan harga sampe 10 ribu kan? Itu untuk sekali pembelian dari satu pelanggan. Bayangkan apabila di hari tersebut ada 100 pelanggan yang datang dan hal tersebut terjadi. Bisa jadi perbedaan harga tersebut berkisar sejuta rupiah. Itu dalam sehari. Bagaimana kalo sebulan? Waaaahhh..ngeri lagi…nyampe 30 juta tuh!

Oke…oke…mungkin aku terlalu berkhayal. Tapi masalahnya, kejadian ini menimpaku hingga 3 kali! Ini yang kusadari, bagaimana dengan sebelum-belumnya yang tidak kusadari? Mungkin bisa nyampe 10 kalian. Dan aku yakin, tidak hanya aku yang mengalaminya. Suamiku pun pernah! Harga yang tertera di label ternyata di kasir berubah menjadi 2 kali lipat! Beruntung suamiku langsung menggugatnya seketika itu juga. Sejak saat ini, aku bertekad untuk teliti sebelum membeli! Aku tidak ingin terus-terusan dibodohi oleh (sistem) kasir. Mereka kan barusan lulus SMA, masa aku yang akan lanjut S2 di Amerika mau aja dibodohi kayak gitu? (beeeuuuh….songong banggeeedddhhh…heheh)

Aku tidak menuduh mereka sengaja melakukan itu. Ya, mungkin saja pegawai toko lupa mencopot label yang lama dengan yang baru. Atau mungkin saja mereka salah taruh label di atas benda yang tidak sesuai. Atau bisa jadi harga yang baru belum dimasukkan ke program computer. Atau..atau…dan atau lainnya aku coba asumsikan demi berprasangka baik terhadap mereka.

Oleh karenanya, kawanku semua… apapun titel anda dan gelar kesarjanaan anda, pastikan ingat-ingat harga barang yang akan anda beli. Jika tidak sesuai dengan yang ada di label, atau tidak ada labelnya, jangan ragu untuk bertanya pada pegawai. Jika kesalahan sepele ini terus-terusan dibiarkan, saya lama-lama curiga jangan-jangan ini memang sudah direncanakan demikian.

Apabila ada pihak yang tersinggung, saya meminta maaf. Tapi konsumen adalah raja. Dan raja biasanya tidak complain tentang harga,.heheheh…peace ah!!!!

Batang, 20 Mei 2014.

Sabtu, 10 Mei 2014

Berburu Beasiswa S2 ke Amerika Part-4 (The Black Hole)

The Black Hole (Placement Process)
Kebanyakan dari kita sering kali ingin memiliki mesin waktu agar bisa loncat ke masa depan maupun mundur ke masa lalu. Saat yang sedang kita miliki saat ini, masalah yang sedang kita hadapi saat ini, selalu terasa begitu berat sehingga kita mengandai-andai bisa segera melewati saat ini.

Dulu, aku begitu galau dengan statusku yang terasa amat kacau balau. Menjadi istri, ibu, dosen di 3 kampus, mahasiswa sekaligus pengejar beasiswa dalam waktu yang bersamaan membuatku seakan ingin meledak. Ingin rasanya segera melewati momen itu dan berada di masa sekarang.

Sekarang, meski beban mengajarku berkurang, cuti kuliahpun ku ambil, bisa bersama anakku sehari semalam dan semua tes-tesan yang menguras otak dan pikiran, ternyata aku masih saja galau dan kacau. Masalah lama telah teratasi dan berlalu, namun, masalah baru kini mulai bermunculan.

Langkah terakhir dalam usaha mendapatkan beasiswa ke Amerika untuk Master Degree adalah Placement Process, yaitu tahap dimana IIE (Organisasi yang menguruskan beasiswa di US) mendaftarkan kita ke 4 universitas (bagi S2). Tahap ini memakan waktu yang sangat lama, mulai dari bulan Desember hingga Juni. Setengah tahun digantung, boooo!!!! Placement Process memiliki julukan tersendiri, yaitu The Black Hole. Tau kan lubang hitam? Konon katanya di angkasa raya ada lubang bueeeesaaaarrr berwarna hitam yang dapat menyedot benda-benda di sekitarnya; dan plup! Hilang begitu saja, dimakan si Lubang Hitam. Begitu pula Placement Process ini. Segala usaha yang telah kita lakukan, dari mulai mengirimkan lamaran, wawancara, overdosis karena tes, pengumpulan dokumen2, semuanya terasa hilang tak berbekas! Ya, dalam rentang waktu yang lama, kita tak dapat berbuat apa-apa selain menunggu dan menunggu kabar dari IIE, baik maupun buruk.

Umumnya para kandidat akan mendapatkan kabar penerimaan di bulan Maret hingga pertengahan April. Namun, beberapa kandidat yang apes harus menunggu hingga detik-detik terakhir penerimaan. Sialnya, salah satu kandidat apes tersebut adalah aku! Oooohh…nooo…
Jadi, beginilah kronologisnya saudara-saudara….

Jumat, 02 Mei 2014

Berburu Beasiswa S2 ke Amerika Part-3 (Overdoses of Tests)



Setelah wawancara beasiswa yang kacau dan memalukan,  aku tak berani berharap banyak bisa mendapatkan beasiswanya. Tapi, tanganku selalu refleks membuka email tiap kali membuka laptop. Meski jelas-jelas Pak Piet berkata bahwa pengumuman selanjutnya akan diinformasikan akhir Agustus, tapi aku mulai mengecek emailku dari awal Juli. Di satu sisi, aku yakin tidak diterima, namun di sisi lain, aku masih mengharapkanmu, oh beasiswaku sayang…. Hingga akhirnya, suatu sore sebelum solat ashar, aku melihat email ini; email yang membuat sholatku tidak khusyu’ (emangnya biasanya khusyu???).

August 29, 2013
Dear Ms. Istiani,
Congratulations! I am extremely pleased to inform you that you have been officially nominated as a principal candidate for a Fulbright scholarship to pursue study for a Master’s degree in the United States commencing with the Fall 2014 academic term.  Official and final selection for this prestigious program is contingent upon the approval of the J. William Fulbright Foreign Scholarship Board (FSB) in Washington, D.C., the amount of scholarship funds available for the 2014 Fulbright program, and your acceptance for admission by an accredited college or university in the United States.

Oh oh oh…. ALHAMDULILLAH!!! AKU DITERIMA!!! AKU KANDIDAT UTAMA!!!
Rasanya aku memiliki dua sayap yang besar dan lebar yang siap mengantarku ke langit ketujuh! Namun, baru nyampe langit kedua, tiba-tiba aku merosot kembali ke bumi demi melihat keseluruhan isi email!
Menjadi kandidat utama tidak bisa dijadikan jaminan 100% pasti berangkat ke Amrik. Masih ada banyak proses yang harus dilewati lagi yaitu beberapa tes; tes IBT, tes GRE umum, tes GRE Literature dan tahap terakhir yaitu Placement Process. Ok, IBT dulu pernah kuikuti. Setidaknya punya gambaran. Tapi, GRE? Tes apakah itu? Setelah kucari-cari informasinya, ternyata GRE adalah tes yang harus diambil oleh orang yang ingin kuliah master dan doctorate level di Amerika. Melalui hasil GRE inilah, kampus bisa menilai kemampuan akademis pelamarnya. Beruntungnya, semua tes dibiayai AMINEF! Padahal harga tes-tes itu lumayan mahal; satu tes aja bisa mencapai 2 jeti boooo!

Minggu selanjutnya aku mendapatkan jadwal untuk tes-tes tersebut. iBT di akhir September, GRE umum di awal Oktober dan GRE Literature di pertengahan Oktober. Oh Tuhan..jeda waktunya mepet-mepet sekali…satu bulan untuk 3 tes yang super duper sulitnya bagaikan menegakkan benang letoy. Bagaimana aku bisa membagi waktu antara belajar 3 tes itu, mengajar di 3 kampus, kuliah S2 di Undip, mengasuh anak sekaligus melayani suami?
Baiklah saudara-saudara…inilah kisah kasihku yang rumit dengan tes-tes yang membuai perasaan dan memabukkan pikiran sehingga aku overdosis karena mereka.

TES IBT(Internet Based TOEFL)
Untuk melamar kuliah di Amerika, bagi non-native speaker, tentu membutuhkan tes yang mengukur kemampuan Bahasa Inggris agar nanti saat kuliah tidak bengong kemasukan lalat gara-gara tidak mengerti dosennya ngomong apa. Standar skor untuk mendaftar S2 setidaknya 90. Namun, untuk bidang studi yang terkait dengan humaniora, setidaknya mendapat nilai 100 ke atas.

Oh, no!!! bisakah aku dapat 100???? Dulu, score iBT-ku sangat-sangat mengerikan!!! Berarti aku harus melipat gandakan kemampuan Bahasa Inggrisku. Tapi masalahnya cukup klasik; aku hampir-hampir tidak memiliki waktu luang! Jangankan untuk belajar tes, untuk memotong kukupun aku tidak sempat! Terhitung mulai September awal, aku resmi jadi mahasiswa linguistik S2 di Undip. Dulu, aku tidak yakin bisa mendapatkan beasiswa ini. Jadi, daripada membuang waktu, akhirnya aku memutuskan untuk kuliah S2 dengan biaya sendiri. Dan, dilemma pun dimulai…

Seperti inilah jadwalku dalam seminggu;
Senin - Rabu = mengajar dari pagi jam 7 hingga jam 10 malam.
Kamis = jam 3 pagi bangun, pergi ke Semarang. Kuliah jam 8 pagi hingga 6 sore.
Jumat = kuliah dari jam 9 pagi hingga jam 6 sore. Balik ke Pekalongan jam 7 malam.
Sabtu & Minggu = mengurus anak sambil menyiapkan materi mengajar dan mengerjakan tugas kuliah.

Ibu mana yang tega meninggalkan bayinya di pagi buta jam 3?
Yang membuatku merasa miris adalah anakku belum berusia 6 bulan saat itu. Masih ASI eksklusif, tapi harus ku tinggal-tinggal. Di sela-sela waktu kosong saat Yesha tidur, aku memompa ASI untuk stok saat kutinggal mengajar maupun kuliah. Sebenarnya ada jalan yang lebih mudah, yaitu susu formula. Tapi, aku merasa menjadi ibu yang buruk karena tidak memiliki waktu untuk Yesha. Setidaknya, dengan ASI ekslusif ini, aku berusaha memberikan yang terbaik untuknya.

Perjuangan berat lainnya adalah tiap kamis jam 3 pagi aku harus membangunkan suamiku untuk mengantarkanku ke Semarang. Dengan menembus pagi yang masih teramat gelap dan dingin, mata yang kantuk dan badan yang lelah sering membuatku hampir terjatuh dari motor yang kami kendarai. Suamiku harus selalu mengoceh sepanjang jalan mengajakku ngobrol agar aku terbebas dari kantuk. Sesampainya di Semarang, biasanya jam 6 pagi, kami sarapan di warung favorit kami yang membolehkan kami mengambil nasi dan lauknya sebanyak mungkin dengan harga yang semurah mungkin. Selesai sarapan, aku langsung ke kos untuk mengambil buku kuliah dan siap untuk belajar, sementara suamiku langsung balik lagi ke Pekalongan.