Setelah
wawancara beasiswa yang kacau dan memalukan,
aku tak berani berharap banyak bisa mendapatkan beasiswanya. Tapi,
tanganku selalu refleks membuka email tiap kali membuka laptop. Meski
jelas-jelas Pak Piet berkata bahwa pengumuman selanjutnya akan diinformasikan
akhir Agustus, tapi aku mulai mengecek emailku dari awal Juli. Di satu sisi,
aku yakin tidak diterima, namun di sisi lain, aku masih mengharapkanmu, oh
beasiswaku sayang…. Hingga
akhirnya, suatu sore sebelum solat ashar, aku melihat email ini; email yang
membuat sholatku tidak khusyu’ (emangnya biasanya khusyu???).
August 29, 2013
Dear Ms. Istiani,
Congratulations! I am extremely pleased to inform you that
you have been officially nominated as a principal candidate for a Fulbright
scholarship to pursue study for a Master’s degree in the United States
commencing with the Fall 2014 academic term. Official and final selection
for this prestigious program is contingent upon the approval of the J. William
Fulbright Foreign Scholarship Board (FSB) in Washington, D.C., the amount of
scholarship funds available for the 2014 Fulbright program, and your acceptance
for admission by an accredited college or university in the United States.
Oh oh oh….
ALHAMDULILLAH!!! AKU DITERIMA!!! AKU KANDIDAT UTAMA!!!
Rasanya aku
memiliki dua sayap yang besar dan lebar yang siap mengantarku ke langit
ketujuh! Namun, baru nyampe langit kedua, tiba-tiba aku merosot kembali ke bumi
demi melihat keseluruhan isi email!
Menjadi
kandidat utama tidak bisa dijadikan jaminan 100% pasti berangkat ke Amrik.
Masih ada banyak proses yang harus dilewati lagi yaitu beberapa tes; tes IBT,
tes GRE umum, tes GRE Literature dan tahap terakhir yaitu Placement Process.
Ok, IBT dulu pernah kuikuti. Setidaknya punya gambaran. Tapi, GRE? Tes apakah
itu? Setelah kucari-cari informasinya, ternyata GRE adalah tes yang harus
diambil oleh orang yang ingin kuliah master dan doctorate level di Amerika.
Melalui hasil GRE inilah, kampus bisa menilai kemampuan akademis pelamarnya.
Beruntungnya, semua tes dibiayai AMINEF! Padahal harga tes-tes itu lumayan
mahal; satu tes aja bisa mencapai 2 jeti boooo!
Minggu
selanjutnya aku mendapatkan jadwal untuk tes-tes tersebut. iBT di akhir September,
GRE umum di awal Oktober dan GRE Literature di pertengahan Oktober. Oh
Tuhan..jeda waktunya mepet-mepet sekali…satu bulan untuk 3 tes yang super duper
sulitnya bagaikan menegakkan benang letoy. Bagaimana aku bisa membagi waktu
antara belajar 3 tes itu, mengajar di 3 kampus, kuliah S2 di Undip, mengasuh
anak sekaligus melayani suami?
Baiklah
saudara-saudara…inilah kisah kasihku yang rumit dengan tes-tes yang membuai
perasaan dan memabukkan pikiran sehingga aku overdosis karena mereka.
TES
IBT(Internet Based TOEFL)
Untuk
melamar kuliah di Amerika, bagi non-native speaker, tentu membutuhkan tes yang
mengukur kemampuan Bahasa Inggris agar nanti saat kuliah tidak bengong
kemasukan lalat gara-gara tidak mengerti dosennya ngomong apa. Standar skor
untuk mendaftar S2 setidaknya 90. Namun, untuk bidang studi yang terkait dengan
humaniora, setidaknya mendapat nilai 100 ke atas.
Oh, no!!!
bisakah aku dapat 100???? Dulu, score iBT-ku sangat-sangat mengerikan!!! Berarti aku harus melipat gandakan kemampuan Bahasa Inggrisku. Tapi masalahnya
cukup klasik; aku hampir-hampir tidak memiliki waktu luang! Jangankan untuk
belajar tes, untuk memotong kukupun aku tidak sempat! Terhitung mulai September
awal, aku resmi jadi mahasiswa linguistik S2 di Undip. Dulu, aku tidak yakin
bisa mendapatkan beasiswa ini. Jadi, daripada membuang waktu, akhirnya aku
memutuskan untuk kuliah S2 dengan biaya sendiri. Dan, dilemma pun dimulai…
Seperti
inilah jadwalku dalam seminggu;
Senin -
Rabu = mengajar dari pagi jam 7 hingga jam 10 malam.
Kamis = jam
3 pagi bangun, pergi ke Semarang. Kuliah jam 8 pagi hingga 6 sore.
Jumat =
kuliah dari jam 9 pagi hingga jam 6 sore. Balik ke Pekalongan jam 7 malam.
Sabtu &
Minggu = mengurus anak sambil menyiapkan materi mengajar dan mengerjakan tugas
kuliah.
 |
Ibu mana yang tega meninggalkan bayinya di pagi buta jam 3? |
Yang
membuatku merasa miris adalah anakku belum berusia 6 bulan saat itu. Masih ASI
eksklusif, tapi harus ku tinggal-tinggal. Di sela-sela waktu kosong saat Yesha tidur,
aku memompa ASI untuk stok saat kutinggal mengajar maupun kuliah. Sebenarnya ada
jalan yang lebih mudah, yaitu susu formula. Tapi, aku merasa menjadi ibu yang
buruk karena tidak memiliki waktu untuk Yesha. Setidaknya, dengan ASI ekslusif ini,
aku berusaha memberikan yang terbaik untuknya.
Perjuangan
berat lainnya adalah tiap kamis jam 3 pagi aku harus membangunkan suamiku untuk
mengantarkanku ke Semarang. Dengan menembus pagi yang masih teramat gelap dan
dingin, mata yang kantuk dan badan yang lelah sering membuatku hampir terjatuh
dari motor yang kami kendarai. Suamiku harus selalu mengoceh sepanjang jalan mengajakku
ngobrol agar aku terbebas dari kantuk. Sesampainya di Semarang, biasanya jam 6
pagi, kami sarapan di warung favorit kami yang membolehkan kami mengambil nasi
dan lauknya sebanyak mungkin dengan harga yang semurah mungkin. Selesai
sarapan, aku langsung ke kos untuk mengambil buku kuliah dan siap untuk
belajar, sementara suamiku langsung balik lagi ke Pekalongan.