Pittsburgh, Pennsylvania, 2 Januari 2015
Dari Cleveland ke
Pittsburgh ditempuh hanya 2 jam 30 menit. Cukup dekat, meski kedua kota
tersebut terletak di berbeda state. Mungkin seperti dari Cirebon (Jawa Barat)
ke Tegal (Jawa Tengah). Di dalam bus, aku duduk terpisah dari suami karena bus
sudah hampir penuh. Awalnya, aku kira tidak bisa tidur tanpa di samping suami
karena pundaknya adalah bantalku. Ternyata, saat bus mulai bergerak, mataku
langsung menutup rapat-rapat. Meski total tidur tadi malam hanya sekitar 5 jam
(Detroit 2 jam, terminal Cleveland 1 jam, bus ke Pittsburgh 2 jam), tapi mata
ini segar ceria saat ditugaskan untuk melihat pemandangan yang indah-indah.
Dari sini saja, terlihat ada empat jembatan yang menghubungkan dua kawasan kota Pittsburgh |
Oh….Pittsburgh memang
sangat indah. Selain terkenal sebagai Steel City (Kota Baja) karena memiliki
ratusan perusahaan yang bergerak di bidang baja, Pittsburgh juga disebut
sebagai The City of Bridge (Kota Jembatan) karena ada hampir 500 jembatan di
kota yang dialiri 3 sungai besar. Bayangkan, tiga sungai besar menyatu di
sebuah kota! Sungguh sejuk melihat biru-bening-binar-berlian (kok, kaya judul
sinetron?) bertebaran dan menghampar di sepanjang mata memandang. Maaf kawan,
saat kusebut “sungai,” jangan kau identikkan dengan sungai Ciliwung yang
*****(disensor) itu, tapi sungai jernih bersih yang bahkan airnya seperti bisa
diminum langsung. Aku bayangkan, produk air mineral di sini tidak laku. Kalau
haus, tinggal bahwa sedotan superpanjang, duduk di samping sungai, lalu sedot
airnya kuat-kuat.
Binar Bening Berlian di Allegheny River |
Kami memiliki waktu 12
jam dengan rencana mengunjungi 12 tempat. Jarak tempat tujuan kuusahakan yang
bisa ditempuh oleh kaki. Bukan…bukan
karena ingin ngirit, tapi karena ingin sehat (beuh…alasan…). Dan tujuan pertama
kami adalah Fort Duquesne Boulevard. Dari sana, kami bisa melihat enam jembatan
yang menyebrangi Allegheny River. Karena Pittsburgh adalah kota Baja, tentu
saja konstruksi jembatan ini super duper kuat, disusun kokoh agar bisa dilalui
ratusan mobil permenitnya. Tak hanya untuk mobil saja, disediakan juga jalur
khusus untuk pejalan kaki dan sepeda.
Setelah menyebrangi
jembatan, kami berjalan menyusuri tepian Allegheny River. Ada jalur khusus
untuk berjalan kaki dan bersepeda yang membatasi jernihnya sungai dengan gedung
tinggi pencengkram bumi dan pencakar langit. Di sekitar sungai, ada banyak
Canada goose (semacam angsa tapi berleher lebih pendek) yang mencakar rumput
mengais makanan. Sayangnya, mereka suka pup sembarangan (gak pake cebok lagi!),
padahal jelas-jelas di seberang mereka ada sungai (jadi inget, Indonesia
menyabet rekor wc terpanjang di dunia yang terletak di bantaran sungai
ciliwung). Dan saat aku merogoh tas dan mengambil snack karena perut mulai
merintih pedih, para angsa tersebut langsung mendongak dan melirikku dengan
mata yang memelas seperti bilang, “Bu haji….minta snacknya dong..kami sudah
tiga hari tidak makan.”
Dan kecurigaankupun
langsung terbukti saat beberapa dari mereka mulai mengikutiku dan berusaha
menyambar snack. Kontan aku langsung lari tunggang langgang mencari tempat aman
yang bersembunyi. Awalnya aku hendak menceburkan diri ke sungai, namun ingat,
aku tidak bisa berenang. Sialnya, suami dan Bambang malah tertawa
terbahak-bahak, tak menolongku sama sekali. Aku merasa bagaikan berada di
sinetron “Putri yang Terbuang.”
Rebutan snack dengan angsa |
Setelah berlari menjauh
dari angsa-angsa nestapa durjana tersebut, sampailah aku di tempat dimana aku
bisa melihat tiga aliran sungai. Dari sini, terlihat jelas PNC Park, stadium
modern yang menjadi rumah tim olahraga Pittsburgh Pirates. Tak jauh dari
stadium, ada Water Steps, susunan bebatuan (atau semen?) kotak-kotak yang dialiri
air bening sehingga tampak seperti air terjun kecil-kecilan. Sayangnya, karena
sedang memasuki musim dingin, aliran airnya dimatikan; walhasil, Water Step
yang kami lihat seperti kardus-kardus kering peninggalan gelandangan.
Kekecewaan kami tak hanya di situ. Karena kekuatan Pittsburgh terletak pada
airnya (seperti halnya Sailormoon mengandalkan kekuatan bulan), maka kebanyakan
tempat wisata yang kami kunjungi seperti mati, karena airnya tidak dialirkan.
Huhuhu… dendam rasanya, pokoknya nanti summer harus ke sini lagi!
Oh ya, selain karena
Pittsburgh penghasil besi dan kawan-kawan, letaknya yang di tepian tiga sungai
besar membuat Pittsburgh tempat yang strategis untuk pertahanan perang maupun
sasaran lawan. Oleh karenanya, ada seratus lebih monumen dan memorial yang
sebagian besarnya untuk mengenang masa perang dahulu. Dengan jangkauan kaki
saja, kami melihat ada sekitar lima monumen dan memorial; ada yang Korean War,
Vietnam War, WW II. Ada juga bekas benteng bernama Fort Pitt Block House yang
kini beralih fungsi menjadi museum kecil sekaligus toko souvenir.
Cuit cuit...cie...eheheh |
Puas melihat sungai dan
pohon-pohon meranggas, kami mulai memasuki pedalaman kota. Mata ini tiba-tiba
silau dengan kaca-kaca bening yang super bersih. Saking bersihnya, dari jauhpun
aku sudah bisa melihat jerawat yang mulai muncul di dekat hidung karena sudah
dua hari tidak mandi. Gedung paling gress di kota ini adalah Pittsburgh Plate
Glass alias PPG. Kompleks ini terdiri dari enam bangunan dengan kaca yang
bersinar biru bagaikan permata. Mata ini sampai silau dibuatnya. Di dalam
kompleks terdapat tempat untuk ice skating dimana antriannya begitu panjang
mengular. Bu-bu-bu-hi alias bule-bule butuh hiburan.
Di kawasan PPG dimana bangunannya bagaikan istana kaca |
Tak terasa kami sudah
berjalan kaki dari mulai jam 9.30 sampai sekitar 3 sore. Sambil makan siang,
kami mengistirahatkan kaki yang mulai membengkak. Setelah menimbang cara untuk
pergi ke masjid, kami memutuskan untuk naik bus agar bisa menghemat waktu
sekaligus tenaga. Sekitar setengah jam kemudian, tibalah kami di Islamic Center
of Pittsburgh yang terletak di dekat kampus Carnegie Mellon University alias
CMU (singkatannya sama dengan kampusku). Dari luar, terlihat seperti rumah di
sekelilingnya, kecuali dinding depan yang full kaca sehingga kami bisa melihat
papan tempat menaruh sepatu dan beberapa kursi untuk melepas sepatu.
Masjid, dimanapun,
menawarkan ketenangan seketika kaki ini menjejak ke dalamnya. Ruangan solat
yang lapang dan hangat benar-benar menentramkan jiwa. Di sini kami menjamak
asar dengan duhur, sekaligus menanti sekitar setengah jam untuk melaksanakan
magrib yang dijamak dengan isya. Selesai solat, kami langsung mencari
restaurant India halal yang ada di dekat masjid. Awalnya kami ragu untuk masuk
karena takut mahal…tapi perut mulai berbunyi lagi, dan dengan setengah hati
namun segenap perut dan hidung, kami langsung duduk manis menunggu pelayan.
Saat pelayan memberikan
menu makanan, mata kami langsung melirik kolom di sebelah kanan, yaitu harga.
Jika harganya cocok di mata, baru kami lirik kolom di sebelah kirinya, yaitu
nama menunya. Namun karena semua menu menggunakan nama India, kami hanya
menebak-nebak saja makanan yang kami pesan. Dan saat pesanan datang, ternyata
porsinya seperti untuk enam orang, padahal kami hanya memesan 3 menu. Sayapun tanpa
ragu (karena di sini memang sudah biasa) meminta pelayan membawakan box agar
kami bisa membawa pulang sebagian makanan sisa (euuuuwww…).
![]() |
Warteg dan Padang jauuuuuh lebih enak |
Lumayan lah untuk sarapan
besok pagi, pikirku mencoba berhemat. Setelah box datang, saya bertanya ke
pelayan, “Can I have the bon, please?”
Sang pelayan bingung,
tidak mengerti maksudku. Setelah ia memutar otaknya, ia bertanya balik, “Oh, do
you mean the bill?”
“Yes, I meant that,”
kataku sambal menahan malu.
Bambang bertanya, “tadi
kamu minta apaan? Bon? Apa itu bon?”
Aku terkikik, “saking
jarangnya ke restaurant, aku kira Bahasa inggrisnya ‘bon’ tetep sama ‘bon’,
deuh…tumben banget aku malu-maluin.”
Ketika bon datang, kami
berhitung-hitung lagi karena di Amerika kami harus memberikan tip tiap kali ke restaurant.
Jumlah tip berbeda di tiap kotanya, antara 10% hingga 20% dari harga total
makanan. Biasanya, makin besar suatu kota, makin besar pula tip yang harus
diberikan. Kami memberikan 15% tips, tapi karena tidak ada uang pas, akhirnya
tip yang kami berikan hampir mencapai 20% (alias 1$ lebih banyak). Pelayan lalu
datang lagi dan mengambil bon beserta uangnya.
Sambil berkemas, kami berdebat
tentang rencana selanjutnya. Lanjut jalan-jalan lagi, atau langsung pergi ke
terminal bus? Setelah menimbang-nimbang bahwa langit sudah gelap, hasil poto
pasti tidak bagus, dan juga perut kenyang disertai kaki yang sudah bengkak,
akhirnya kami memutuskan untuk langsung pergi ke terminal Greyhound.
Tiba-tiba, pelayan
datang lagi dan menyerahkan uang kembalian, yang seharusnya menjadi tip untuk
mereka. Aku kaget, sekaligus senang, karena ada uang receh untuk naik angkot
nanti. Kuambil 1$ dan kubiarkan sisanya di atas meja.
Keluar dari restoran,
Suamiku bilang,”tadi pelayan itu ngeliatin kamu berdua pas kalian lagi ngobrol.”
“Kenapa?” tanyaku
bingung.
“Ya mungkin mereka
bingung, apa kita ga pulang-pulang karena minta kembalian uang? Akhirnya, si
cowok bule itu kan dateng bawain kembalian, tapi mukanya agak ga enak gitu.”
“Masa sih? Aku ga
sempet liat wajahnya, mataku langsung ngeliat duitnya, hahah”
Tau gitu, aku ambil aja
semua uang kembalian itu ya..pikirku. Ya sudahlah, rejeki mereka.
Saat kami tiba di dalam
terminal bus, suamiku melihat ada display cantik berupa rumah-rumahan kecil
yang dikelilingi salju dan kereta yang ditarik rusa terbang. Karena waktu
berangkat masih 2 jam, aku dan Suami berlomba-lomba memoto display itu dengan
menggunakan DSLR baru, sementara Bambang sedang di luar terminal. Setelah
menghasilkan tiga jepretan, seorang petugas security mendatangi kami. Dengan
wajah keruh, suara tinggi dan mata melotot, dia merampas kamera kami.
“Give me your camera!”
Bentaknya.
“Wait…what happens
here?” Suaraku langsung gemetar.
“You are not supposed
to take pictures in this building!” Dia sekali lagi berusaha merenggut kamera,
namun suamiku mempertahankannya sambil berulang kali bilang, “I’m sorry.”
“Please, do pardon me.
I have no idea at all that we may not take picture around here. If I did, I
would not do it, for sure! Do you want me to delete all these pictures? Here
you go.”
Suamiku lalu
memperlihatkan pada lelaki itu tiga poto yang kami ambil di dalam terminal bus,
dan langsung menghapusnya.
“No more? Only these?”
Ia bertanya.
“No, we didn’t take
much,” jawabku. Setelah puas dan yakin tak ada lagi poto, ia meminta Suamiku
mencopot batre kamera seketika itu juga di depannya. Suamiku pasrah dan
menurut. Ia lalu bertanya padaku.
“So, where are you
from? China?”
“No, Indonesia!” Lho…emangnya
wajahku mirip orang China kah?
“Where are you going?”
Ia Tanya lagi.
“Washington D.C.”
jawabku pendek.
“Listen to me! Kalian ga boleh moto apapun di dalam bangunan
pemerintah. Terminal ini punya pemerintah, jadi gak bisa sembarang kalian moto
tanpa izin. Apalagi nanti di DC, di sana bakal lebih tegas lagi. Beruntung kali
ini aku memaafkan kalian, jangan diulang lagi,” katanya sambil menepuk pundak
suamiku sambil berlalu.
Kami langsung duduk
lemas karena syok. Hampir saja lelaki itu membanting kamera baru kami. Suamiku
langsung memasukkan kamera ke dalam tas.
“Hampir saja kita
kehilangan kamera…” ujarku perlahan.
Dan dua hari kemudian,
kami benar-benar kehilangan kamera kami.
Poto di depan terminal Greyhound (beruntung gak dihapus sama security galak) |
Artikel Terkait
Tidak ada komentar :
Posting Komentar