31 Desember 2014
Malam tahun baru. Di Amerika Serikat. Lagi liburan
semester.
Kebanyakan kawanku di
Indonesia mungkin mengira aku tengah menikmati pesta kembang api, tiup
terompet, berdesak-desakan dengan ratusan ribu orang yang tumpah di jalanan New
York, atau setidaknya Chicago.
No..no..no! Tahun
baruanku diisi dengan meringkuk di sudut sofa sambil baca timeline fesbuk!
Sangat jauuuuuh dari keramaian dan kebisingan. Kawan lamaku di Semarang tidak
percaya saat kubilang bahwa bahkan desa paling terisolir di Semarang pun jauh
lebih ramai dibandingkan dengan tempatku sekarang. Bukan hiperbolis, memang
demikian kenyataannya. Penduduk di kota kecilku ini sebagian besar adalah
mahasiswa yang langsung kabur ngacir saat bendera bernama liburan dikibarkan.
Lalu, kenapa aku hanya
meringkuk sambil jilat-jilat mangkuk?
Ya..karena aku sedang
mengadakan ritual pengumpulan energi. Malam ini aku usahakan tidur
sepuas-puasnya dan makan sekenyang-kenyangnya agar besok siap tempur melawan
kebosanan.
Yup! Besok aku akan
keliling 8 kota di Amerika Serikat dalam seminggu! 1 tas gunung yang sudah
membubul tinggi dan 1 backpack pollo classic yang terlihat gendut sudah duduk
manis minta digendong kemana-mana. Jadi inget Mbah S***p. Seminggu nanti, kedua
tas itu akan melekat erat di punggung kami.
Wahai Benua Columbus
Copernicus Amerika….tunggu kedatanganku!!!
Mt Pleasant, Michigan, 1 Januari 2015
Beruntung kami sudah
packing sejak kemarin. Pagi ini sebelum berangkat, aku memasak 6 butir telur
mata sapi sementara suami tampak heboh kasrak-kusruk dengan penggorengan. Ku
akui, dalam hal memasak nasi goreng, suamiku jauh lebih unggul. Itu karena ia
bisa menemukan rasio yang tepat antara level keempukan nasi dengan ketebalan
terasi. Untuk menghemat pengeluaran, aku bertekad untuk membawa bekal,
setidaknya bisa mengurangi resiko jajan gorengan sembarangan di jalan. Setelah
semua masak-masak dan beres-beres apartemen berakhir, aku mengguyur badan agak
lebih lama(yang biasanya mandi cuma 4 menit sekarang menjadi 4 menit lebih 20
detik), mengingat kemungkinan akan bisa bertemu bak mandi kembali sekitar 4
hari yang akan datang.
Tapi lihatlah suamiku….aih…tampak
gagah sekali lelaki ini…Tas gunung merk Teton ini tingginya hampir melebihi
kepala suamiku saat dipanggulnya. Ia juga melampirkan tas kamera Nikon super
baru yang baru saja kami beli kemarin. Bahkan bau ‘baru’nya bisa tercium dari
radius seratus meter andai saja bau nasi goreng terasi ini tidak menghalangi. Bagai
pasukan perang yang sudah dilengkapi seribu amunisi, kami keluar rumah,
melangkah maju sambil berteriak kencang. “Petualangan…Kami dataaaaaang!!!!”
East Lansing, Michigan, 1 Januari 2015
Jam 3 sore bus sudah
mendepak kami di East Lansing, kota dimana kampus terbaik seantero Michigan alias
Michigan State Univeristy (MSU) ini berada. Awalnya, tidak ada rencana untuk
jalan-jalan di sini. Namun, karena masih ada waktu 3 jam sebelum bus berikutnya datang, belum
lagi tempat menunggu bus yang sangat kecil dan tidak nyaman, akhirnya kami memutuskan
untuk mengunjungi MSU yang berada tepat di seberang halte bus.
Karena sedang liburan,
kampus tampak lengang dan sunyi. Halaman berumput yang luas dan memanjang membuat
jarak antara jalan raya dengan bangunan kampus terpisah jauh. Saat masih
menyusuri jalan setapak di dalam kampus, tiupan peluit raksasa kereta
mengagetkan kami, yang segera disusul rombongan kereta barang yang mengular dan
teramat panjang tiada habisnya. Sekitar 5 menit barulah kami bisa melihat
gerbong terakhirnya.
“Wah, kalau saja di
Indonesia penggunaan kereta bisa dimaksimalkan seperti itu, jalur pantura bisa
lebih tertib dan tidak cepat rusak karena muatan truk yang berlebih,” ucap
suamiku sambil matanya menerawang ke alam pantura sana. Semua orang tau Pantura itu proyek abadi. Opini luas menuding pemerintah sengaja menghamburkan uangnya untuk proyek "pesanan lebaran" ini. Alangkah lebih bijaknya jiga uang trilyunan ini dibagi-bagi untuk rakyat. Tapi...bukankah kontraktor juga rakyat? Tukang cor aspal juga rakyat... Yang ngaduk semen juga rakyat...Aku jadi mikir, apakah ada pembatas yang jelas
antara rakyat dengan pejabat? Apakah pejabat itu wakil rakyat? Jika mereka
wakil rakyat, berarti mereka kan rakyat juga..Jadi, kalau mereka korupsi, itu
kan uangnya buat istri, anak, dan sanak saudara mereka yang notabenenya adalah
rakyat juga kan?
Pemikiran ngawurku itu langsung
sirna saat aku melihat bangunan antik yang depannya menjulang tinggi dengan
gagahnya. Bukan karena gerejanya, tapi bangunan yang berdampingan dengan gereja
lah yang membuat kami mempercepat langkah. Ya, ada Islamic Center terbesar di
sekitar Greater Lansing. Mumpung masih ada waktu untuk sholat duhur. Selesai Duhur,
entah perut siapa yang mengeluarkan lagu keroncong karena kami semua tampak
kelaparan. Akhirnya, bekal nasi goreng yang sedianya untuk sarapan esok hari
kami santap sebagian. Beruntung masjid sedang sepi sehingga kami bisa makan
nasgor dengan nikmat dan leluasa. Bukan…bukan karena aku malu jika ada orang
lain yang melihat, tapi aku takut jika mereka tergiur aroma nasgor kami dan
memintanya. Bukan…bukan karena aku pelit…tapi ngirit sedikit lah…
Masjid istimewa yang berdampingan dengan gereja dan berseberangan dengan kampus MSU |
Setelah perut mulai terisi
penuh, tiba-tiba bulu kuduk dan bulu mataku berdiri tegak demi mendengar lantunan
ashar berkumandang merdu. Tak ada toa, apalagi pengeras suara. Suara muadzin
hanya menggema di dalam masjid saja. Sudah hampir setengah tahun aku tidak lagi
mendengar adzan kecuali dari aplikasi hape (itupun lebih sering langsung
kumatikan). Mendengar adzan secara live di Amerika itu sungguh teramat sesuatu!
Apalagi muadzinnya ini orang Arab asli, suara adzan yang ia lantunkan terdengar
sengau dan serak-serak basah namun manis bagai kurma Arab. Suamiku tampaknya
memahami perasaan haru biru yang menyeruak di dalam kalbuku. Ia langsung
mengusap aliran air yang perlahan keluar dari hidungku yang mendadak pilek.
Selesai Ashar, kami
langsung tancap gas kembali ke kampus MSU. Bambang tampak menggebu-gebu ingin
mencari Eli and Edythe Broad Art Museum, museum kampus di MSU yang beberapa bulan
lalu dijadikan setting untuk film Batman terbaru nanti. Namun, karena waktu
yang sempit, ditambah lagi angin es yang terus-terusan menampar tubuh membuat
kami menghentikan separuh eksplorasi. Lumayan lah, sempat berfoto di depan
stadium MSU yang dinamakan Spartan ini. Spartan tak hanya nama stadium ataupun
tim olahraga kampus, tapi juga julukan untuk mahasiswa MSU. Seperti halnya di
kampusku, Central Michigan University (CMU) yang mengusung nama Chippewa. Julukan
Chippewa ini tidak hanya untuk tim atletik kampus saja, namun juga untuk semua
mahasiswa CMU. Aku jadi berpikir, jika kampusku yang dulu itu memiliki slogan SUTERA
(Sehat, Unggul, sejahTERA), maka tim atletiknya harusnya bernama SUTERA juga. Mau
gak mau, mahasiswanya kecipratan nama SUTERA juga, atau mungkin ULAT SUTERA
(ULet And Tangguh, Sehat, Unggul, sejahTERA).
Selain beasiswa, atlit berbakat tetap dibina kemampuan atletiknya. |
Back to the States. Karena
atmosfir olahraga di kampus Amerika sangat kuat, bahkan banyak beasiswa
tersedia bagi atlet-atlet berbakat yang biasanya diincar oleh agen sejak mereka
SMA. Atlet kampus benar-benar dibina karena selain melalui prestasi akademik,
kampus di Amerika juga berlomba melalui olahraga. Karena itulah, meski aku sebenarnya
tidak terlalu suka olahraga, sejak tiba di Amerika aku hampir tidak pernah
melewatkan pertandingan American football. Terlebih karena sering ada bagi-bagi
kaos gratis (ketahuan deh motif aslinya..).
Saat kami tiba di terminal
bus, melalui kaca transparan, kami melihat banyak orang berjejalan di dalam
ruangan kecil. Rupanya, terminal bus sudah ditutup sejak jam 3 sore dan hanya
menyisakan sepetak ruang kecil bagi calon penumpang. Awalnya kami ingin ikut
masuk dan berteduh dari dinginnya angin malam, namun ruangan sudah terlalu
sesak, mengingatkanku pada kotak korek api yang masih penuh isinya. Lagipula,
orang-orang di dalam ruangan itu sepertinya satu rombongan dari RT 05 RW 03
karena mengenakan baju yang sama. Dari bajunya yang seragam, aku menebak mereka
adalah komunitas Ya***I Ortodoks karena mereka mengenakan baju hitam-hitam plus
topi hitam, mirip topi sulapnya Pak Tarno. Meski angin es seperti hendak
merontokkan tulang, kami memilih bertahan di luar ruangan.
Demi menghibur diri,
terkadang Suamiku dan Bambang bernyanyi lagu dangdut. Terus terang, suara mereka
tidak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Apabila Iwan Fals yang suaranya merdu
saja disebut Fales, entah masuk kategori apa suara kedua manusia ini. Beruntung
angin berhembus teramat kencang sehingga suara yang mereka keluarkan langsung
lenyap seketika. Aku jadi teringat film Doraemon, dimana Giant (Jayen) menyuruh
kawan-kawannya mendengarkan ia bernyanyi. Beruntung Doraemon memiliki alat
ajaib dari kantung ajaibnya. (Hayooo…siapa fans berat Doraemon? ngaku gak lu!)
Sejak jarum jam melewati
angka 6, aku selalu mengecek jarum jam tiap menitnya. Mengapa oh mengapa,
busnya telat. “Telat” adalah kata yang teramat jarang digunakan di Amerika,
apalagi layanan transportasi publik. Saking jarangnya bus telat, jika sekali ia
telat, pastilah ada masalah serius yang menimpa mereka di jalan, entah itu
cuaca yang ekstrim, ataupun masalah teknis. Yang pasti, bukan karena supirnya
ngetem sembarangan di jalan. Oleh karenanya, aku berlapang dada meski ia yang
dinanti akhirnya datang jua setelah satu jam lebih. Segera setelah masuk bus,
aku menjamak solat dan kehangatan yang menyeruak dari dalam bis langsung membelai
mataku dalam hitungan detik.
Artikel Terkait
Cerita selanjutnya kapan bu?? Nanggung, enggak klimaks nih!, mehehe
BalasHapustenang bu...kan jalan-jalannya 7 hari..jadi ada 7 seri..heheh
HapusSalam!
BalasHapusTak sengaja googling Kampus MSU, ketemu dg blog ini.
Dan menarik utk saya baca. Apakah Ibu ini mahasiswa/domisili di Michigan atau sekitarnya?
Jika iya bolehkah saya minta kontak (atau apapunlah namanya) guna utk saya beratnya lbh jauh terkait kampus MSU.
Jufri, Aceh.
Email : jufriikhwan@gmail.com
hi.. silakan email saya di imasistiani@ymail.com
Hapus