Kamis, 15 Januari 2015

Petualangan Hari ke-1 di East Lansing, Michigan

31 Desember 2014
Malam tahun baru. Di Amerika Serikat. Lagi liburan semester.
Kebanyakan kawanku di Indonesia mungkin mengira aku tengah menikmati pesta kembang api, tiup terompet, berdesak-desakan dengan ratusan ribu orang yang tumpah di jalanan New York, atau setidaknya Chicago.

No..no..no! Tahun baruanku diisi dengan meringkuk di sudut sofa sambil baca timeline fesbuk! Sangat jauuuuuh dari keramaian dan kebisingan. Kawan lamaku di Semarang tidak percaya saat kubilang bahwa bahkan desa paling terisolir di Semarang pun jauh lebih ramai dibandingkan dengan tempatku sekarang. Bukan hiperbolis, memang demikian kenyataannya. Penduduk di kota kecilku ini sebagian besar adalah mahasiswa yang langsung kabur ngacir saat bendera bernama liburan dikibarkan.

Lalu, kenapa aku hanya meringkuk sambil jilat-jilat mangkuk?
Ya..karena aku sedang mengadakan ritual pengumpulan energi. Malam ini aku usahakan tidur sepuas-puasnya dan makan sekenyang-kenyangnya agar besok siap tempur melawan kebosanan.

Yup! Besok aku akan keliling 8 kota di Amerika Serikat dalam seminggu! 1 tas gunung yang sudah membubul tinggi dan 1 backpack pollo classic yang terlihat gendut sudah duduk manis minta digendong kemana-mana. Jadi inget Mbah S***p. Seminggu nanti, kedua tas itu akan melekat erat di punggung kami.
Wahai Benua Columbus Copernicus Amerika….tunggu kedatanganku!!!

Mt Pleasant, Michigan, 1 Januari 2015
Beruntung kami sudah packing sejak kemarin. Pagi ini sebelum berangkat, aku memasak 6 butir telur mata sapi sementara suami tampak heboh kasrak-kusruk dengan penggorengan. Ku akui, dalam hal memasak nasi goreng, suamiku jauh lebih unggul. Itu karena ia bisa menemukan rasio yang tepat antara level keempukan nasi dengan ketebalan terasi. Untuk menghemat pengeluaran, aku bertekad untuk membawa bekal, setidaknya bisa mengurangi resiko jajan gorengan sembarangan di jalan. Setelah semua masak-masak dan beres-beres apartemen berakhir, aku mengguyur badan agak lebih lama(yang biasanya mandi cuma 4 menit sekarang menjadi 4 menit lebih 20 detik), mengingat kemungkinan akan bisa bertemu bak mandi kembali sekitar 4 hari yang akan datang.
Jam 12 lebih sedikit, kawan kami, sebut-saja-Bambang yang akan ikut bergabung berpetualang mengetuk pintu. Ia membawa tas punggung coklat (sepintas ia tampak sedang memanggul brownies alih-alih tas punggung). Tentengan Bambang tampak matching habis karena ia menjinjing tas kertas berwarna biru langit kerlap-kerlip plus pita biru dan travel pillow yang biru juga. Ku akui, tentengannya jauh lebih keren dibandingkan aku yang memasukkan sebagian stok makanan ke dalam kantong kresek bertuliskan Walmart. Aku merasa seperti hendak mengantarkan nasi bungkus ke sawah.

Tapi lihatlah suamiku….aih…tampak gagah sekali lelaki ini…Tas gunung merk Teton ini tingginya hampir melebihi kepala suamiku saat dipanggulnya. Ia juga melampirkan tas kamera Nikon super baru yang baru saja kami beli kemarin. Bahkan bau ‘baru’nya bisa tercium dari radius seratus meter andai saja bau nasi goreng terasi ini tidak menghalangi. Bagai pasukan perang yang sudah dilengkapi seribu amunisi, kami keluar rumah, melangkah maju sambil berteriak kencang. “Petualangan…Kami dataaaaaang!!!!”

East Lansing, Michigan, 1 Januari 2015
Jam 3 sore bus sudah mendepak kami di East Lansing, kota dimana kampus terbaik seantero Michigan alias Michigan State Univeristy (MSU) ini berada. Awalnya, tidak ada rencana untuk jalan-jalan di sini. Namun, karena masih ada  waktu 3 jam sebelum bus berikutnya datang, belum lagi tempat menunggu bus yang sangat kecil dan tidak nyaman, akhirnya kami memutuskan untuk mengunjungi MSU yang berada tepat di seberang halte bus.

Karena sedang liburan, kampus tampak lengang dan sunyi. Halaman berumput yang luas dan memanjang membuat jarak antara jalan raya dengan bangunan kampus terpisah jauh. Saat masih menyusuri jalan setapak di dalam kampus, tiupan peluit raksasa kereta mengagetkan kami, yang segera disusul rombongan kereta barang yang mengular dan teramat panjang tiada habisnya. Sekitar 5 menit barulah kami bisa melihat gerbong terakhirnya.

“Wah, kalau saja di Indonesia penggunaan kereta bisa dimaksimalkan seperti itu, jalur pantura bisa lebih tertib dan tidak cepat rusak karena muatan truk yang berlebih,” ucap suamiku sambil matanya menerawang ke alam pantura sana. Semua orang tau Pantura itu proyek abadi. Opini luas menuding pemerintah sengaja menghamburkan uangnya untuk proyek "pesanan lebaran" ini. Alangkah lebih bijaknya jiga uang trilyunan ini dibagi-bagi untuk rakyat. Tapi...bukankah kontraktor juga rakyat? Tukang cor aspal juga rakyat... Yang ngaduk semen juga rakyat...Aku jadi mikir, apakah ada pembatas yang jelas antara rakyat dengan pejabat? Apakah pejabat itu wakil rakyat? Jika mereka wakil rakyat, berarti mereka kan rakyat juga..Jadi, kalau mereka korupsi, itu kan uangnya buat istri, anak, dan sanak saudara mereka yang notabenenya adalah rakyat juga kan?

Pemikiran ngawurku itu langsung sirna saat aku melihat bangunan antik yang depannya menjulang tinggi dengan gagahnya. Bukan karena gerejanya, tapi bangunan yang berdampingan dengan gereja lah yang membuat kami mempercepat langkah. Ya, ada Islamic Center terbesar di sekitar Greater Lansing. Mumpung masih ada waktu untuk sholat duhur. Selesai Duhur, entah perut siapa yang mengeluarkan lagu keroncong karena kami semua tampak kelaparan. Akhirnya, bekal nasi goreng yang sedianya untuk sarapan esok hari kami santap sebagian. Beruntung masjid sedang sepi sehingga kami bisa makan nasgor dengan nikmat dan leluasa. Bukan…bukan karena aku malu jika ada orang lain yang melihat, tapi aku takut jika mereka tergiur aroma nasgor kami dan memintanya. Bukan…bukan karena aku pelit…tapi ngirit sedikit lah…


Masjid istimewa yang berdampingan dengan gereja dan berseberangan dengan kampus MSU

Setelah perut mulai terisi penuh, tiba-tiba bulu kuduk dan bulu mataku berdiri tegak demi mendengar lantunan ashar berkumandang merdu. Tak ada toa, apalagi pengeras suara. Suara muadzin hanya menggema di dalam masjid saja. Sudah hampir setengah tahun aku tidak lagi mendengar adzan kecuali dari aplikasi hape (itupun lebih sering langsung kumatikan). Mendengar adzan secara live di Amerika itu sungguh teramat sesuatu! Apalagi muadzinnya ini orang Arab asli, suara adzan yang ia lantunkan terdengar sengau dan serak-serak basah namun manis bagai kurma Arab. Suamiku tampaknya memahami perasaan haru biru yang menyeruak di dalam kalbuku. Ia langsung mengusap aliran air yang perlahan keluar dari hidungku yang mendadak pilek.

Selesai Ashar, kami langsung tancap gas kembali ke kampus MSU. Bambang tampak menggebu-gebu ingin mencari Eli and Edythe Broad Art Museum, museum kampus di MSU yang beberapa bulan lalu dijadikan setting untuk film Batman terbaru nanti. Namun, karena waktu yang sempit, ditambah lagi angin es yang terus-terusan menampar tubuh membuat kami menghentikan separuh eksplorasi. Lumayan lah, sempat berfoto di depan stadium MSU yang dinamakan Spartan ini. Spartan tak hanya nama stadium ataupun tim olahraga kampus, tapi juga julukan untuk mahasiswa MSU. Seperti halnya di kampusku, Central Michigan University (CMU) yang mengusung nama Chippewa. Julukan Chippewa ini tidak hanya untuk tim atletik kampus saja, namun juga untuk semua mahasiswa CMU. Aku jadi berpikir, jika kampusku yang dulu itu memiliki slogan SUTERA (Sehat, Unggul, sejahTERA), maka tim atletiknya harusnya bernama SUTERA juga. Mau gak mau, mahasiswanya kecipratan nama SUTERA juga, atau mungkin ULAT SUTERA (ULet And Tangguh, Sehat, Unggul, sejahTERA).
Selain beasiswa, atlit berbakat tetap dibina kemampuan atletiknya.

Back to the States. Karena atmosfir olahraga di kampus Amerika sangat kuat, bahkan banyak beasiswa tersedia bagi atlet-atlet berbakat yang biasanya diincar oleh agen sejak mereka SMA. Atlet kampus benar-benar dibina karena selain melalui prestasi akademik, kampus di Amerika juga berlomba melalui olahraga. Karena itulah, meski aku sebenarnya tidak terlalu suka olahraga, sejak tiba di Amerika aku hampir tidak pernah melewatkan pertandingan American football. Terlebih karena sering ada bagi-bagi kaos gratis (ketahuan deh motif aslinya..).

Saat kami tiba di terminal bus, melalui kaca transparan, kami melihat banyak orang berjejalan di dalam ruangan kecil. Rupanya, terminal bus sudah ditutup sejak jam 3 sore dan hanya menyisakan sepetak ruang kecil bagi calon penumpang. Awalnya kami ingin ikut masuk dan berteduh dari dinginnya angin malam, namun ruangan sudah terlalu sesak, mengingatkanku pada kotak korek api yang masih penuh isinya. Lagipula, orang-orang di dalam ruangan itu sepertinya satu rombongan dari RT 05 RW 03 karena mengenakan baju yang sama. Dari bajunya yang seragam, aku menebak mereka adalah komunitas Ya***I Ortodoks karena mereka mengenakan baju hitam-hitam plus topi hitam, mirip topi sulapnya Pak Tarno. Meski angin es seperti hendak merontokkan tulang, kami memilih bertahan di luar ruangan.

Demi menghibur diri, terkadang Suamiku dan Bambang bernyanyi lagu dangdut. Terus terang, suara mereka tidak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Apabila Iwan Fals yang suaranya merdu saja disebut Fales, entah masuk kategori apa suara kedua manusia ini. Beruntung angin berhembus teramat kencang sehingga suara yang mereka keluarkan langsung lenyap seketika. Aku jadi teringat film Doraemon, dimana Giant (Jayen) menyuruh kawan-kawannya mendengarkan ia bernyanyi. Beruntung Doraemon memiliki alat ajaib dari kantung ajaibnya. (Hayooo…siapa fans berat Doraemon? ngaku gak lu!)


Sejak jarum jam melewati angka 6, aku selalu mengecek jarum jam tiap menitnya. Mengapa oh mengapa, busnya telat. “Telat” adalah kata yang teramat jarang digunakan di Amerika, apalagi layanan transportasi publik. Saking jarangnya bus telat, jika sekali ia telat, pastilah ada masalah serius yang menimpa mereka di jalan, entah itu cuaca yang ekstrim, ataupun masalah teknis. Yang pasti, bukan karena supirnya ngetem sembarangan di jalan. Oleh karenanya, aku berlapang dada meski ia yang dinanti akhirnya datang jua setelah satu jam lebih. Segera setelah masuk bus, aku menjamak solat dan kehangatan yang menyeruak dari dalam bis langsung membelai mataku dalam hitungan detik.
Artikel Terkait

4 komentar :

  1. Cerita selanjutnya kapan bu?? Nanggung, enggak klimaks nih!, mehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. tenang bu...kan jalan-jalannya 7 hari..jadi ada 7 seri..heheh

      Hapus
  2. Salam!
    Tak sengaja googling Kampus MSU, ketemu dg blog ini.
    Dan menarik utk saya baca. Apakah Ibu ini mahasiswa/domisili di Michigan atau sekitarnya?
    Jika iya bolehkah saya minta kontak (atau apapunlah namanya) guna utk saya beratnya lbh jauh terkait kampus MSU.

    Jufri, Aceh.
    Email : jufriikhwan@gmail.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. hi.. silakan email saya di imasistiani@ymail.com

      Hapus