Senin, 11 Agustus 2014

Jilbabku; Bagaimana Kabarmu?



Di penghujung minggu pertama, Spring International Language Program (SILC) University of Arkansas mengadakan dinner antara peserta program dan staffnya di rumah Dr. Lanier, sang Program Director. Rumahnya tidak terlalu besar, namun penuh sesak oleh barang-barang antik yang ia dapatkan dari puluhan negara; Dr. Lanier sudah menjelajahi hampir separuh dunia! (Ouch…One of my dreams!)

Di saat yang lain makan, aku memandangi bunga(dan piring di belakangnya)
Saat yang lain sudah mulai mengiris-iris daging steaknya masing-masing, aku masih meringis-ringis, menanti jam 8.30, waktu magrib di daerah setempat. Kami duduk memanjang dan saling berhadapan. Di depanku adalah Wayne, salah seorang instruktur bahasa kami. Di tahun akademik normal, Wayne adalah dosen di University of California Berkeley, salah satu kampus impian tingkat dunia. Melihatku tengah meneteskan air liur, Wayne berusaha memalingkan perhatianku dari steak menggiurkan itu.

“Imas, I’m gonna ask you something. Menurutmu, orang yang tidak memakai kerudung adalah orang yang tidak baik?”
“Secara agama atau secara sosial?”
“Keduanya.”
“Jujur saja, secara agama mungkin ia bukan penganut yang baik karena menutup aurat adalah wajib.”
“Jadi, menurutmu, temanmu ini (menunjuk salah seorang temanku yang muslim tapi tidak berkerudung) termasuk muslim yang baik atau tidak?”
“Secara agama, mungkin ia muslim yang kurang baik karena tidak melakukan kewajibannya. Tapi ia pastinya memiliki alasan tersendiri yang tidak membuat kita serta merta mencapnya sebagai pribadi yang buruk juga secara sosial. Gampangnya gini aja deh..kalo ada mahasiswamu yang tidak mengerjakan tugas kuliah, apakah ia termasuk mahasiswa baik atau buruk?”
“Hmm…he could be a better student…”Wayne mengelak.
“Ahhh…you are tricky!…tadi kamu ga ngasih aku pilihan jawaban seperti itu!” (don’t try this at home! Jangan pernah bilang ke dosenmu kalo dia curang;kecuali kalo kamu rela dapet nilai D).

Aku seketika sadar. Mencap muslimah yang tidak memakai kerudung sebagai muslim yang tidak baik justru menunjukkan bahwa diri kitalah yang tidak baik. Kita tidak bisa menilai orang dari satu sisi saja. Terlalu timpang; berat sebelah. Jika ada siswa yang suatu ketika tidak mengerjakan tugas, kita tidak bisa serta merta menganggapnya pemalas. Bisa jadi ia lupa, atau pura-pura lupa. Mungkin pula rumahnya kebanjiran, sehingga buku sekolahnya basah semua. Atau bisa jadi bukunya digigit tikus karena wanginya mirip ikan asin. Mungkin juga ia disuruh teman sekelasnya untuk kompak tidak mengerjakan tugas.
Jadi, ada banyak alasan mengapa seorang muslimah tidak mengenakan kerudung. Bisa karena takut ribet, tak mampu beli kerudung, kurang fashionable, hingga yang meyakini bahwa kerudung adalah budaya Arab, bukan aturan Islam. Namun, apapun itu alasannya, Wayne juga benar dengan mengatakan bahwa seorang siswa yang tidak mengerjakan tugasnya suatu saat nanti bisa jadi siswa yang lebih baik.
 
Yg paling cantik adalah yg di tengah(bag.belakang pake kacamata)
“Imas, kalau boleh tau, sebenarnya mengapa kamu mengenakan kerudung?” seorang teman dari negara Amerika Selatan bertanya. Di negaranya, ia jarang sekali melihat wanita berkerudung.
Pertanyaannya membuatku terhenyak. Sebenarnya, mengapa aku mengenakan kerudung? Apakah hakikat sebenarnya dari berkerudung? Dengan gelagapan, aku mengambil jawaban sekenanya.
“Secara dasarnya, menutupi aurat adalah perintah agama. Namun hakikatnya, hal ini adalah bagian untuk menjaga dan menghormati diri kita sendiri.”
Temanku menggangguk-angguk. Entah mengerti, entah sebenarnya ia tau alasan asliku; males nyisir rambut.

“Nanti kalau anakmu sudah besar, apakah ia harus pakai kerudung juga?” Wayne kembali bertanya.
“Yup!”
“Kalau ia tidak mau?”
“Tetap kupaksa.”
“Kalau ia sudah dewasa?”
“Dia boleh bercita-cita menjadi apapun. Dia boleh pergi kemanapun. Asalkan ia memakai kerudung dan melakukan kewajibannya sebagai muslimah.”
Wayne geleng-geleng kepala. Dalam budaya barat, aku bisa dikategorikan sebagai orangtua yang terlalu mengekang; mungkin.

Mendengar jawabanku sendiri, aku jadi merinding. Mengapa aku membebankan anakku sedemikian rupa, padahal, sudahkah aku melakukan kewajibanku sebagai muslimah? Apakah hanya dengan mengenakan kerudung aku mampu melunasinya?
Ya, tentu saja tidak! Aku masih jauuuuuuuh dari kata muslimah yang kaffah. Kerudung ini bukanlah akhir dari karir “kemuslimahanku”, namun hanyalah awal. Jika ada yang bilang ingin “menjilbabi” dulu hatinya, baru kemudian rambutnya; itu mungkin sentilan bagi kita-kita yang berkerudung tapi akhlaknya jauh panggang dari api (hayoooo….ngerti peribahasa ini ga?). Banyak juga yang berkerudung namun masih perlu juga “menjilbabi hatinya”.

Namun sebenarnya, “menjilbabi hati” maupun “menjilbabi fisik” adalah dua kewajiban yang harus dilakukan muslimah yang berjalan beriringan; bukan di depan maupun di belakang. Tidak ada yang lebih penting dari keduanya, karena penampilan fisik adalah cerminan dari hati. Iman di dalam hati terpantul melalui akhlak yang baik dan penampilan yang pantas. Oleh karenanya, teman-teman yang berkerudung, janganlah merasa unggul karena jilbab yang tersemat; perjuangan masihlah panjang. Dan bagi engkau wahai temanku yang belum berkerudung, ingatlah akan nyanyian Cherrybelle, “kamu cantik, cantik dari hatimu!”

Michigan, 10 Agustus 2014
*Sambil mikir nanti Agustusan mau benderaan dimana.
Artikel Terkait

4 komentar :

  1. Wah... sesuatu yg biasa mnrt qt jd topik hangat n srg d bicarakn seolah sesuatu yg luar biasa, bgmn jk yg d tanya loading'y lama/ trll pemalu? Bu, ada nggak mahasiswa internasional yg pemalu? Klo ada, bgmn cara beradaptasi d sana?

    BalasHapus
    Balasan
    1. yups...beberapa mahasiswa internasional (hanya sedikit) yang pemalu; pada awalnya saja. Namun di sini kita dituntut untuk terbuka, kalo terlalu tertutup bakal banyal yang tertinggal.

      Hapus
  2. selamat mengarungi the american muslim experience! semoga semakin meningkatkan kualitas kita sbg manusia. :)

    BalasHapus