Di
penghujung minggu pertama, Spring International Language Program (SILC) University
of Arkansas mengadakan dinner antara peserta program dan staffnya di rumah Dr.
Lanier, sang Program Director. Rumahnya tidak terlalu besar, namun penuh sesak
oleh barang-barang antik yang ia dapatkan dari puluhan negara; Dr. Lanier sudah
menjelajahi hampir separuh dunia! (Ouch…One of my dreams!)
Di saat yang lain makan, aku memandangi bunga(dan piring di belakangnya) |
Saat yang
lain sudah mulai mengiris-iris daging steaknya masing-masing, aku masih
meringis-ringis, menanti jam 8.30, waktu magrib di daerah setempat. Kami duduk
memanjang dan saling berhadapan. Di depanku adalah Wayne, salah seorang
instruktur bahasa kami. Di tahun akademik normal, Wayne adalah dosen di University
of California Berkeley, salah satu kampus impian tingkat dunia. Melihatku tengah meneteskan air liur, Wayne berusaha
memalingkan perhatianku dari steak menggiurkan itu.
“Imas, I’m
gonna ask you something. Menurutmu, orang yang tidak memakai kerudung adalah
orang yang tidak baik?”
“Secara
agama atau secara sosial?”
“Keduanya.”
“Jujur
saja, secara agama mungkin ia bukan penganut yang baik
karena menutup aurat adalah wajib.”
“Jadi,
menurutmu, temanmu ini (menunjuk salah seorang temanku yang muslim tapi tidak
berkerudung) termasuk muslim yang baik atau tidak?”
“Secara
agama, mungkin ia muslim yang kurang baik karena tidak melakukan kewajibannya.
Tapi ia pastinya memiliki alasan tersendiri yang tidak membuat kita serta merta
mencapnya sebagai pribadi yang buruk juga secara sosial. Gampangnya gini aja
deh..kalo ada mahasiswamu yang tidak mengerjakan tugas kuliah, apakah ia
termasuk mahasiswa baik atau buruk?”
“Hmm…he
could be a better student…”Wayne mengelak.
“Ahhh…you
are tricky!…tadi kamu ga ngasih aku pilihan jawaban seperti itu!” (don’t try
this at home! Jangan pernah bilang ke dosenmu kalo dia curang;kecuali kalo kamu
rela dapet nilai D).
Aku
seketika sadar. Mencap muslimah yang tidak memakai kerudung sebagai muslim yang
tidak baik justru menunjukkan bahwa diri kitalah yang tidak baik. Kita tidak
bisa menilai orang dari satu sisi saja. Terlalu timpang; berat sebelah. Jika
ada siswa yang suatu ketika tidak mengerjakan tugas, kita tidak bisa serta
merta menganggapnya pemalas. Bisa jadi ia lupa, atau pura-pura lupa. Mungkin
pula rumahnya kebanjiran, sehingga buku sekolahnya basah semua. Atau bisa jadi
bukunya digigit tikus karena wanginya mirip ikan asin. Mungkin juga ia disuruh
teman sekelasnya untuk kompak tidak mengerjakan tugas.
Jadi, ada
banyak alasan mengapa seorang muslimah tidak mengenakan kerudung. Bisa karena
takut ribet, tak mampu beli kerudung, kurang fashionable, hingga yang meyakini
bahwa kerudung adalah budaya Arab, bukan aturan Islam. Namun, apapun itu
alasannya, Wayne juga benar dengan mengatakan bahwa seorang siswa yang tidak
mengerjakan tugasnya suatu saat nanti bisa jadi siswa yang lebih baik.
“Imas,
kalau boleh tau, sebenarnya mengapa kamu mengenakan kerudung?” seorang teman
dari negara Amerika Selatan bertanya. Di negaranya, ia jarang sekali melihat
wanita berkerudung.
Pertanyaannya
membuatku terhenyak. Sebenarnya, mengapa aku mengenakan kerudung? Apakah hakikat
sebenarnya dari berkerudung? Dengan gelagapan, aku mengambil jawaban sekenanya.
“Secara
dasarnya, menutupi aurat adalah perintah agama. Namun hakikatnya, hal ini adalah
bagian untuk menjaga dan menghormati diri kita sendiri.”
Temanku menggangguk-angguk.
Entah mengerti, entah sebenarnya ia tau alasan asliku; males nyisir rambut.
“Nanti
kalau anakmu sudah besar, apakah ia harus pakai kerudung juga?” Wayne kembali
bertanya.
“Yup!”
“Kalau ia
tidak mau?”
“Tetap
kupaksa.”
“Kalau ia
sudah dewasa?”
“Dia boleh
bercita-cita menjadi apapun. Dia boleh pergi kemanapun. Asalkan ia memakai
kerudung dan melakukan kewajibannya sebagai muslimah.”
Wayne
geleng-geleng kepala. Dalam budaya barat, aku bisa dikategorikan sebagai
orangtua yang terlalu mengekang; mungkin.
Mendengar
jawabanku sendiri, aku jadi merinding. Mengapa aku membebankan anakku
sedemikian rupa, padahal, sudahkah aku melakukan kewajibanku sebagai muslimah?
Apakah hanya dengan mengenakan kerudung aku mampu melunasinya?
Ya, tentu
saja tidak! Aku masih jauuuuuuuh dari kata muslimah yang kaffah. Kerudung ini
bukanlah akhir dari karir “kemuslimahanku”, namun hanyalah awal. Jika ada yang
bilang ingin “menjilbabi” dulu hatinya, baru kemudian rambutnya; itu mungkin
sentilan bagi kita-kita yang berkerudung tapi akhlaknya jauh panggang dari api
(hayoooo….ngerti peribahasa ini ga?). Banyak juga yang berkerudung namun masih
perlu juga “menjilbabi hatinya”.
Namun sebenarnya,
“menjilbabi hati” maupun “menjilbabi fisik” adalah dua kewajiban yang harus
dilakukan muslimah yang berjalan beriringan; bukan di depan maupun di belakang. Tidak ada yang lebih penting dari keduanya, karena penampilan
fisik adalah cerminan dari hati. Iman di dalam hati terpantul melalui akhlak
yang baik dan penampilan yang pantas. Oleh karenanya, teman-teman yang
berkerudung, janganlah merasa unggul karena jilbab yang tersemat; perjuangan masihlah
panjang. Dan bagi engkau wahai temanku yang belum berkerudung, ingatlah akan nyanyian
Cherrybelle, “kamu cantik, cantik dari hatimu!”
Michigan,
10 Agustus 2014
*Sambil
mikir nanti Agustusan mau benderaan dimana.
Artikel Terkait
Wah... sesuatu yg biasa mnrt qt jd topik hangat n srg d bicarakn seolah sesuatu yg luar biasa, bgmn jk yg d tanya loading'y lama/ trll pemalu? Bu, ada nggak mahasiswa internasional yg pemalu? Klo ada, bgmn cara beradaptasi d sana?
BalasHapusyups...beberapa mahasiswa internasional (hanya sedikit) yang pemalu; pada awalnya saja. Namun di sini kita dituntut untuk terbuka, kalo terlalu tertutup bakal banyal yang tertinggal.
Hapusselamat mengarungi the american muslim experience! semoga semakin meningkatkan kualitas kita sbg manusia. :)
BalasHapusAmmiiin....I am so excited for it!
Hapus