The Black Hole (Placement Process)
Kebanyakan
dari kita sering kali ingin memiliki mesin waktu agar bisa loncat ke masa depan
maupun mundur ke masa lalu. Saat yang sedang kita miliki saat ini, masalah yang
sedang kita hadapi saat ini, selalu terasa begitu berat sehingga kita
mengandai-andai bisa segera melewati saat ini.
Dulu, aku
begitu galau dengan statusku yang terasa amat kacau balau. Menjadi istri, ibu,
dosen di 3 kampus, mahasiswa sekaligus pengejar beasiswa dalam waktu yang
bersamaan membuatku seakan ingin meledak. Ingin rasanya segera melewati momen
itu dan berada di masa sekarang.
Sekarang,
meski beban mengajarku berkurang, cuti kuliahpun ku ambil, bisa bersama anakku
sehari semalam dan semua tes-tesan yang menguras otak dan pikiran, ternyata aku
masih saja galau dan kacau. Masalah lama telah teratasi dan berlalu, namun,
masalah baru kini mulai bermunculan.
Langkah
terakhir dalam usaha mendapatkan beasiswa ke Amerika untuk Master Degree adalah
Placement Process, yaitu tahap dimana IIE (Organisasi yang menguruskan beasiswa
di US) mendaftarkan kita ke 4 universitas (bagi S2). Tahap ini memakan waktu
yang sangat lama, mulai dari bulan Desember hingga Juni. Setengah tahun
digantung, boooo!!!! Placement Process memiliki julukan tersendiri, yaitu The
Black Hole. Tau kan lubang hitam? Konon katanya di angkasa raya ada lubang
bueeeesaaaarrr berwarna hitam yang dapat menyedot benda-benda di sekitarnya;
dan plup! Hilang begitu saja, dimakan si Lubang Hitam. Begitu pula Placement
Process ini. Segala usaha yang telah kita lakukan, dari mulai mengirimkan
lamaran, wawancara, overdosis karena tes, pengumpulan dokumen2, semuanya terasa
hilang tak berbekas! Ya, dalam rentang waktu yang lama, kita tak dapat berbuat
apa-apa selain menunggu dan menunggu kabar dari IIE, baik maupun buruk.
Umumnya
para kandidat akan mendapatkan kabar penerimaan di bulan Maret hingga
pertengahan April. Namun, beberapa kandidat yang apes harus menunggu hingga
detik-detik terakhir penerimaan. Sialnya, salah satu kandidat apes tersebut
adalah aku! Oooohh…nooo…
Jadi, beginilah
kronologisnya saudara-saudara….
Di
pertengahan Februari
Setelah menunggu 2 bulan lebih, aku
melonjak kegirangan karena mendapatkan kabar penerimaan dari salah satu kampus
yang aku lamar! Namun, karena AMINEF sebelumnya sudah mewanti-wanti agar kami
tidak menghubungi kampus yang kami lamar; semua hal, baik pertanyaan maupun
informasi yang terkait dengan Placement Process harus melewati AMINEF; maka aku
menunggu kabar selanjutnya dari AMINEF. Sayangnya, setelah email itu lewat
seminggu, AMINEF tidak juga menyapaku. Hingga akhirnya aku menelepon mba Mita,
salah satu staff yang mengurusi kami.
“Oh, coba
kamu kirimkan emailnya ke saya. Nanti saya konfirmasi lagi,” jawabnya.
Hari itu
juga aku langsung mengirimkan email pada mba Mita.
Esoknya,
tidak ada kabar.
Esoknya
lagi, tidak ada kabar.
Seminggu,
masih tidak ada kabar.
Sebulan
kemudian, ada kabar!!!!
Pertengahan
Maret
Tapi kabar
buruk!
Aku tidak
diterima di salah satu kampus!
Ya, oke,
baiklah, aku tidak diterima di kampus itu. Tapi, bagaimana dengan kampus yang
sebulan lalu menerimaku? Aku kirim balik email sebulan lalu ke AMINEF bertanya
perihal itu. Namun, mereka tidak juga memberiku jawaban hingga sebulan berlalu.
Pertengahan
April
Lagi lagi,
kabar buruk yang kuterima. Aku kembali ditolak! Total, dua kampus kini yang
sudah menolak lamaran cintaku.
Segera saja
aku teringat petuah mas Ariel NOAH
“Dan
terjadi lagi…kisah lama yang terulang kembali…”
Tingkat
kegalauanku makin tinggi. Aku bertanya-tanya pada kandidat lain.
“Aku sedang
mengisi medical form! Aku sudah diterima di New York University!” kata
Virginia, kandidat dari Surabaya.
“Empat
kampus menerimaku semua. Tapi 3 kampus ada shortfallnya, jadi harus nombok.
Alhamdulillah, University of Arizona memberiku tuition waiver, jadi tidak ada
*shortfall. Sekarang aku sedang mengisi medical form!” ujar Juwairiyah, kandidat
dari Malang.
“Aku lagi
bingung nih…semua kampus menerimaku…tapi semuanya ada *shortfallnya. Shortfall
paling kecil aja nyampe 6,000$! Sebelum tanggal 1 Mei, aku harus menentukan
pilihan,” Uswatun, kandidat dari Solo bercerita.
*Shortfall adalah kekurangan biaya yang harus ditanggung kandidat karena biaya kuliah dan biaya hidup melebihi anggaran, yaitu $32,500/tahun.
Mendengar
bahwa hampir semua kandidat telah diterima membuatku makin lemas. Di saat
kandidat lain diterima oleh semua kampus yang mereka lamar, aku malah sudah
ditolak 2 kampus. O la la… apa yang salah dengan lamaranku? Aku coba
menganalisa hal2 yang menyebabkan lamaranku ditolak oleh 2 kampus dan masih
digantung oleh 2 kampus lainnya hingga detik2 terakhir ini.
Apakah
lamaranku kurang menarik? Apakah work sample-ku tidak berkualitas? Apakah aku
terlalu banyak dosa? Apakah aku kurang banyak berdoa?
Semua
pertanyaanku tadi jawabannya jelas; ya iyalah neng…. Academic backgroundmu
kurang meyakinkan, work sample-mu analisanya sangat tidak bermutu, kaya tulisan
anak SD di Amerika, dan dosamu pada suami dan orangtuamu beeeeuuuhhh….jauh
lebih guede dari gunung Fuji di Malaysia sana! (Eh…salah ya? emangnya gunung
Fuji di mana sih?) Segera saja, aku meminta maaf pada suami dan orangtua.
Berharap dosa-dosaku berkurang sehingga melancarkan datangnya kabar baik. Namun,
meski telah sungkem dan meminta maaf, kabar baik itu tidak serta merta datang
begitu saja.
Akhir
April
Bulan April
hampir berakhir, dan rencana hidupku, Plan A, yang tadinya aku pikir 2 tahun ke
depan kami sekeluarga akan berada di Amerika; langsung musnah. Aku segera
merancang Plan B. Berarti aku harus mengurus cutiku di Undip agar semester
depan bisa kuliah lagi. Jika aku kuliah lagi di Undip, maka mulai sekarang
harusnya aku mengumpulkan uang untuk registrasi semester depan. Tapi, uang dari
mana? Aku sekarang hanya mengajar di satu kampus, itupun cuma 2 hari.
Pendapatan suami tidak bisa diandalkan. Meski musim panen sudah sebulan lebih,
tapi suamiku bilang semua orang merugi. Dari mulai petani, penebas, penggiling
gabah hingga penjual beras semuanya rugi. Ini semua gara-gara harga beras yang
meluncur turun secara drastis. Awal tahun pemerintah membeli entah berapa ratus
ribu ton beras dari Vietnam dan Thailand yang murah meriah dan putih bersih. Kontan
saja masyarakat lebih memilih beras import sehingga menyebabkan beras dari
petani kita nelangsa. Konon, kata suamiku, ini permainan politik, yang bermain
di ranah ekonomi karena adanya pemilu.
Entahlah,
aku tidak terlalu mengerti, yang aku tau, untuk membiayai kuliah di Undip
nanti, kemungkinan besar kami harus menjual salah satu motor. Tapi, jika kami
hanya punya 1 motor, tentu sulit jika suatu saat aku harus pergi mengajar
sementara suami pergi ke sawah. Apakah aku harus berhenti mengajar nantinya?
Kalau aku berhenti mengajar, keuangan kami makin tidak menentu, sementara
ongkos kuliah tidaklah murah.
Ya
Allah…mengapa terasa rumit sekali? Bayangan indah akan bermain2 salju sambil
jualan es lilin di Amerika kini pupus sudah, dihadapkan dengan kenyataan pahit;
tidak adanya kampus yang menerimaku dan juga kondisi keuangan yang tipis
setipis-tipisnya, bagai rambut dibelah 7. Rasanya ingin protes, tapi pada
siapa? Pada Tuhan? Bukankah aku sendiri yang menciptakan kondisinya menjadi
seperti ini? Andai dulu IP-ku lebih tinggi…andai nilai test IBT dan GREku lebih
besar..andai work sample-ku lebih bagus..andai bulan bisa ngomong..andai rumput
bergoyang bisa kutanyai..semua pengandaian yang sia-sia. Penyesalan memang datangnya
di akhir, kalau datang di awal, itu namanya pendaftaran! Hehe hiks hiks (ketawa
sambil nangis)
Yesha, penghibur lara pengusir galau |
Beruntung aku
memiliki Ayesha, anak cantik yang di usia 12 bulannya mulai ingin berlari ke
sana ke mari sendiri, tidak mau digendong, apalagi disuruh tidur. Ia membuatku
lupa akan segala keresahan yang ada. Jika tak ada Yesha, mungkin tiap hari
pekerjaanku hanyalah menatap email kosong sambil menangis sambil makan kripik
pedes sambil mendengarkan lagu mellow lalu nanti guling-guling di pekarangan
lalu garuk-garuk tanah lalu kubuat gundukan lalu pup di atas gundukan itu.
Beruntung
aku memiliki suami yang selalu menyemangati. Tiap kali aku berkeluh kesah
padanya, ia akan selalu menjawab, “insya allah, hari ini akan ada kabar baik.
Tunggu saja nanti sampai sore, pasti ada email.” Biasanya aku langsung menjawab
“amin” dan berusaha bersabar menunggu hingga sore, tidak ada email apapun.
Saat
esoknya aku berkeluh kesah lagi, jawabannya pun tetap sama. Setelah
kuhitung-hitung, perkataan “insya-Allah-akan-ada-kabar-baik”nya berulang hingga
23 kali. Dan tiap kali ia berkata demikian, aku langsung mengamini. Namun,
tetap saja tak ada kabar baik yang menghampiri. Hingga saat suamiku bilang “insya
allah, hari ini akan ada kabar baik” yang ke-24, yang biasanya aku bilang “amin”,
kini aku cuma bilang “hmm”.
“Kok ga
bilang amin?”
“Males ah..”
“Bilang
amin aja kok males? Itu tandanya kamu sudah putus asa.”
Aku
tertohok. Apakah males bilang “amin” artinya putus asa? Apakah dengan tidak
bilang “amin”lagi aku sudah tidak percaya akan terkabulnya keinginanku?
Bahkan
teman-teman kandidat juga selalu menyemangati. Mereka selalu berkata, “pasti
nanti diterima. Gak mungkin kamu ditelantarin begitu aja sama IIE. Tetap
semangat dan berdoa yah!”
Lha, itu
dia!
Berdo’a!
katanya doa adalah senjata bagi mereka yang beriman.
Ya, aku
teramat percaya akan kekuatan doa. Tapi, untuk sekedar berdoa saja pun aku
bingung. Aku tak tau harus berdoa apa. Bukankah Tuhan Maha Mengetahui? Ia tidak
hanya mengetahui apa yang kita inginkan, lebih jauh dari itu, Tuhan tau apa
yang terbaik untuk kita. Jika kita teramat menginginkan sesuatu, namun menurut
Tuhan itu tidak baik untuk kita, apakah terlalu lancang jika kita tetap
menuntutnya? Jika aku berdoa untuk diterima di Amerika, belum tentu kuliah di
sana baik untukku. Atau, belum tentu nanti di sana aku malah dugem, bukannya
kuliah. Tapi tetap saja, jika aku berdoa meminta jalan yang terbaik, aku takut
jika jalan yang terbaik itu ternyata bukan di Amerika, karena aku
sungguh-sungguh ingin kuliah di sana.
Tiba-tiba
aku tersadar. Apakah memang yang terbaik untukku adalah tetap tinggal di
Indonesia dan melanjutkan kuliahku di Undip? Jika memang aku lebih baik tetap
tinggal di sini, mengapa Tuhan membiarkan aku berjalan hingga sejauh ini untuk
mendapatkan beasiswa? Tinggal selangkah lagi..tinggal sejengkal lagi..dan aku
tidak bisa meraihnya? Rasanya sangatlah menyayat dan mengiris-iris hati dengan
sangat tipis-tipis lalu ditumis-tumis dengan jeruk nipis.
Baiklah,
usaha yang telah kulakukan telah total. Tak ada lagi yang dapat kulakukan
selain memasrahkannya pada Yang Maha Kuasa. Hingga akhirnya aku putuskan untuk
berdoa seperti ini.
“Ya Allah,
Engkau Maha Mengetahui segala sesuatunya. Hamba mohon, berilah hamba jalan yang
terbaik. Ngomong-ngomong, Tuhan, Engkau pasti tahu kan apa yang hamba maksud
dengan jalan yang terbaik? Terimakasih sebesar-besarnya atas Pengertian-Mu.
Amiiiiiinnnn…”
Tiba-tiba,
ada sebuah jawaban atas do’aku.
“Imas, sebenarnya
mengapa kamu ngotot sekali ingin ke Amerika? Kan dulu udah pernah ke sana…apa
masih belum puas?”
Dengan
malu-malu aku menjawab.
“Mmm…dulu pas
aku di sana, aku masih sendiri. Sekarang, aku pengen poto selfie bareng Suami
dan Yesha di depan patung Liberty, biar bisa kami upload di fesbuk..maaf kalo
hamba sedikit ingin pamer, Tuhan…hamba hanya manusia biasa…”
Jika
seorang hamba ngotot berdoa apa yang dia inginkan, tidakkah ia terlalu lancang
pada Tuhan?
Batang, 10 Mei 2014
Artikel Terkait
Salut buat perjuangan mbk dr awal sampe skrg, ditengah rutinitas sbg ibu, dosen, mhsiswa. Sy gagal di tahap interview. Stlh bc blog mbk sy jd sadar perjuangan sy blm ad apa apanya.
BalasHapusCeritanya dikemas dgn santai, sy tersenyum sendiri saat membacanya.
Salam
terimakasih sudah membaca tulisan acakadut saya :)
HapusAaaa....been there, done that. Saya tau rasanya Mbak menunggu dalam ketidakpastian. Hiks.
BalasHapusTapi Insya Alloh, Tuhan selalu punya skenario terbaik untuk kita kok :)
Eh, jadi akhirnya keterima dimana?
betul...betul..betul...we'll never know what God already knows! akhirnya aq jadi di Central Michigan University. Kamu juga skrng lagi di amrik kah? dimana?
HapusSaya di Purdue University Mbak, Indiana :). Literally di tengah ladang jagung... ahahahahaha XD. Salam kenal ya Mbak Imas. Ceritanya menginspirasi ^_^. Teman saya juga ada yang Fulbrighter Batch 2014, di Michigan juga, Mbak Wenta. Kalo ketemu, salam ya Mbak :)
BalasHapuswah,.seru juga yah kuliah di ladng jagung..biasanya di tengah sawah padi,..heheh
BalasHapusmakasiiiih...biar kalo ada yg tanya tentang beasiswa, tinggal bilang "baca aja blogku" heheh
temenku sekarang banyak jg yg di indiana,.terutama Indiana 'University.
Dear Mbak Imas dan Mbak Utami,
BalasHapusSaya kagum atas keberhasilan Mbak meraih beasiswa ini. Dari dulu saya ingin sekali seperti Mbak.
Ada yang mau saya tanyakan, seberapa besar peluang bagi kandidat yang bekerja di sektor swasta seperti saya ini utk meraih beasiswa tsb? Setahu saya beasiswa ini diprioritaskan bagi mereka yg bekerja di sektor pemerintah seperti PNS.
Mohon informasinya Mbak.
Trims.
hello wayan...
Hapussaya bukan PNS, hanya dosen tidak tetap di sebuah kampus kecil. sebagian besar teman2 saya juga bukan PNS, kebanyakan dari kami baru kerja sekitar 2-3 tahun setelah lulus. yang terpenting bukan kamu bekerja dimana, tapi sumbangsih apa yang akan kamu berikan pada tempatmu bekerja sepulangnya nanti dari amerika.
Hallo, Mba.
BalasHapusSaya mau tanya. Ketika mba sedang apply (mengirimkan dokumen) beasiswa Fulbright, berarti statusnya masih mahasiswa atau sudah cuti ketika mengirimkan berkas? Kebetulan saya sedang S2 di salah satu universitas di Indonesia (biaya sendiri), namun berminat untuk apply beasiswa Fulbright. Kalau boleh, saya ingin minta alamat email mba untuk tanya-tanya lebih detail. Terima kasih.