Sabtu, 10 Mei 2014

Berburu Beasiswa S2 ke Amerika Part-4 (The Black Hole)

The Black Hole (Placement Process)
Kebanyakan dari kita sering kali ingin memiliki mesin waktu agar bisa loncat ke masa depan maupun mundur ke masa lalu. Saat yang sedang kita miliki saat ini, masalah yang sedang kita hadapi saat ini, selalu terasa begitu berat sehingga kita mengandai-andai bisa segera melewati saat ini.

Dulu, aku begitu galau dengan statusku yang terasa amat kacau balau. Menjadi istri, ibu, dosen di 3 kampus, mahasiswa sekaligus pengejar beasiswa dalam waktu yang bersamaan membuatku seakan ingin meledak. Ingin rasanya segera melewati momen itu dan berada di masa sekarang.

Sekarang, meski beban mengajarku berkurang, cuti kuliahpun ku ambil, bisa bersama anakku sehari semalam dan semua tes-tesan yang menguras otak dan pikiran, ternyata aku masih saja galau dan kacau. Masalah lama telah teratasi dan berlalu, namun, masalah baru kini mulai bermunculan.

Langkah terakhir dalam usaha mendapatkan beasiswa ke Amerika untuk Master Degree adalah Placement Process, yaitu tahap dimana IIE (Organisasi yang menguruskan beasiswa di US) mendaftarkan kita ke 4 universitas (bagi S2). Tahap ini memakan waktu yang sangat lama, mulai dari bulan Desember hingga Juni. Setengah tahun digantung, boooo!!!! Placement Process memiliki julukan tersendiri, yaitu The Black Hole. Tau kan lubang hitam? Konon katanya di angkasa raya ada lubang bueeeesaaaarrr berwarna hitam yang dapat menyedot benda-benda di sekitarnya; dan plup! Hilang begitu saja, dimakan si Lubang Hitam. Begitu pula Placement Process ini. Segala usaha yang telah kita lakukan, dari mulai mengirimkan lamaran, wawancara, overdosis karena tes, pengumpulan dokumen2, semuanya terasa hilang tak berbekas! Ya, dalam rentang waktu yang lama, kita tak dapat berbuat apa-apa selain menunggu dan menunggu kabar dari IIE, baik maupun buruk.

Umumnya para kandidat akan mendapatkan kabar penerimaan di bulan Maret hingga pertengahan April. Namun, beberapa kandidat yang apes harus menunggu hingga detik-detik terakhir penerimaan. Sialnya, salah satu kandidat apes tersebut adalah aku! Oooohh…nooo…
Jadi, beginilah kronologisnya saudara-saudara….


Di pertengahan Februari
Setelah menunggu 2 bulan lebih, aku melonjak kegirangan karena mendapatkan kabar penerimaan dari salah satu kampus yang aku lamar! Namun, karena AMINEF sebelumnya sudah mewanti-wanti agar kami tidak menghubungi kampus yang kami lamar; semua hal, baik pertanyaan maupun informasi yang terkait dengan Placement Process harus melewati AMINEF; maka aku menunggu kabar selanjutnya dari AMINEF. Sayangnya, setelah email itu lewat seminggu, AMINEF tidak juga menyapaku. Hingga akhirnya aku menelepon mba Mita, salah satu staff yang mengurusi kami.

“Oh, coba kamu kirimkan emailnya ke saya. Nanti saya konfirmasi lagi,” jawabnya.
Hari itu juga aku langsung mengirimkan email pada mba Mita.
Esoknya, tidak ada kabar.
Esoknya lagi, tidak ada kabar.
Seminggu, masih tidak ada kabar.
Sebulan kemudian, ada kabar!!!!


Pertengahan Maret
Tapi kabar buruk!
Aku tidak diterima di salah satu kampus!
Ya, oke, baiklah, aku tidak diterima di kampus itu. Tapi, bagaimana dengan kampus yang sebulan lalu menerimaku? Aku kirim balik email sebulan lalu ke AMINEF bertanya perihal itu. Namun, mereka tidak juga memberiku jawaban hingga sebulan berlalu.

Pertengahan April
Lagi lagi, kabar buruk yang kuterima. Aku kembali ditolak! Total, dua kampus kini yang sudah menolak lamaran cintaku.
Segera saja aku teringat petuah mas Ariel NOAH
“Dan terjadi lagi…kisah lama yang terulang kembali…”

Tingkat kegalauanku makin tinggi. Aku bertanya-tanya pada kandidat lain.
“Aku sedang mengisi medical form! Aku sudah diterima di New York University!” kata Virginia, kandidat dari Surabaya.

“Empat kampus menerimaku semua. Tapi 3 kampus ada shortfallnya, jadi harus nombok. Alhamdulillah, University of Arizona memberiku tuition waiver, jadi tidak ada *shortfall. Sekarang aku sedang mengisi medical form!” ujar Juwairiyah, kandidat dari Malang.

“Aku lagi bingung nih…semua kampus menerimaku…tapi semuanya ada *shortfallnya. Shortfall paling kecil aja nyampe 6,000$! Sebelum tanggal 1 Mei, aku harus menentukan pilihan,” Uswatun, kandidat dari Solo bercerita.
 *Shortfall adalah kekurangan biaya yang harus ditanggung kandidat karena biaya kuliah dan biaya hidup melebihi anggaran, yaitu $32,500/tahun.

Mendengar bahwa hampir semua kandidat telah diterima membuatku makin lemas. Di saat kandidat lain diterima oleh semua kampus yang mereka lamar, aku malah sudah ditolak 2 kampus. O la la… apa yang salah dengan lamaranku? Aku coba menganalisa hal2 yang menyebabkan lamaranku ditolak oleh 2 kampus dan masih digantung oleh 2 kampus lainnya hingga detik2 terakhir ini.

Apakah lamaranku kurang menarik? Apakah work sample-ku tidak berkualitas? Apakah aku terlalu banyak dosa? Apakah aku kurang banyak berdoa?

Semua pertanyaanku tadi jawabannya jelas; ya iyalah neng…. Academic backgroundmu kurang meyakinkan, work sample-mu analisanya sangat tidak bermutu, kaya tulisan anak SD di Amerika, dan dosamu pada suami dan orangtuamu beeeeuuuhhh….jauh lebih guede dari gunung Fuji di Malaysia sana! (Eh…salah ya? emangnya gunung Fuji di mana sih?) Segera saja, aku meminta maaf pada suami dan orangtua. Berharap dosa-dosaku berkurang sehingga melancarkan datangnya kabar baik. Namun, meski telah sungkem dan meminta maaf, kabar baik itu tidak serta merta datang begitu saja.

Akhir April
Bulan April hampir berakhir, dan rencana hidupku, Plan A, yang tadinya aku pikir 2 tahun ke depan kami sekeluarga akan berada di Amerika; langsung musnah. Aku segera merancang Plan B. Berarti aku harus mengurus cutiku di Undip agar semester depan bisa kuliah lagi. Jika aku kuliah lagi di Undip, maka mulai sekarang harusnya aku mengumpulkan uang untuk registrasi semester depan. Tapi, uang dari mana? Aku sekarang hanya mengajar di satu kampus, itupun cuma 2 hari. Pendapatan suami tidak bisa diandalkan. Meski musim panen sudah sebulan lebih, tapi suamiku bilang semua orang merugi. Dari mulai petani, penebas, penggiling gabah hingga penjual beras semuanya rugi. Ini semua gara-gara harga beras yang meluncur turun secara drastis. Awal tahun pemerintah membeli entah berapa ratus ribu ton beras dari Vietnam dan Thailand yang murah meriah dan putih bersih. Kontan saja masyarakat lebih memilih beras import sehingga menyebabkan beras dari petani kita nelangsa. Konon, kata suamiku, ini permainan politik, yang bermain di ranah ekonomi karena adanya pemilu.

Entahlah, aku tidak terlalu mengerti, yang aku tau, untuk membiayai kuliah di Undip nanti, kemungkinan besar kami harus menjual salah satu motor. Tapi, jika kami hanya punya 1 motor, tentu sulit jika suatu saat aku harus pergi mengajar sementara suami pergi ke sawah. Apakah aku harus berhenti mengajar nantinya? Kalau aku berhenti mengajar, keuangan kami makin tidak menentu, sementara ongkos kuliah tidaklah murah.

Ya Allah…mengapa terasa rumit sekali? Bayangan indah akan bermain2 salju sambil jualan es lilin di Amerika kini pupus sudah, dihadapkan dengan kenyataan pahit; tidak adanya kampus yang menerimaku dan juga kondisi keuangan yang tipis setipis-tipisnya, bagai rambut dibelah 7. Rasanya ingin protes, tapi pada siapa? Pada Tuhan? Bukankah aku sendiri yang menciptakan kondisinya menjadi seperti ini? Andai dulu IP-ku lebih tinggi…andai nilai test IBT dan GREku lebih besar..andai work sample-ku lebih bagus..andai bulan bisa ngomong..andai rumput bergoyang bisa kutanyai..semua pengandaian yang sia-sia. Penyesalan memang datangnya di akhir, kalau datang di awal, itu namanya pendaftaran! Hehe hiks hiks (ketawa sambil nangis)

Yesha, penghibur lara pengusir galau
Beruntung aku memiliki Ayesha, anak cantik yang di usia 12 bulannya mulai ingin berlari ke sana ke mari sendiri, tidak mau digendong, apalagi disuruh tidur. Ia membuatku lupa akan segala keresahan yang ada. Jika tak ada Yesha, mungkin tiap hari pekerjaanku hanyalah menatap email kosong sambil menangis sambil makan kripik pedes sambil mendengarkan lagu mellow lalu nanti guling-guling di pekarangan lalu garuk-garuk tanah lalu kubuat gundukan lalu pup di atas gundukan itu.

Beruntung aku memiliki suami yang selalu menyemangati. Tiap kali aku berkeluh kesah padanya, ia akan selalu menjawab, “insya allah, hari ini akan ada kabar baik. Tunggu saja nanti sampai sore, pasti ada email.” Biasanya aku langsung menjawab “amin” dan berusaha bersabar menunggu hingga sore, tidak ada email apapun.

Saat esoknya aku berkeluh kesah lagi, jawabannya pun tetap sama. Setelah kuhitung-hitung, perkataan “insya-Allah-akan-ada-kabar-baik”nya berulang hingga 23 kali. Dan tiap kali ia berkata demikian, aku langsung mengamini. Namun, tetap saja tak ada kabar baik yang menghampiri. Hingga saat suamiku bilang “insya allah, hari ini akan ada kabar baik” yang ke-24, yang biasanya aku bilang “amin”, kini aku cuma bilang “hmm”.

“Kok ga bilang amin?”
“Males ah..”
“Bilang amin aja kok males? Itu tandanya kamu sudah putus asa.”
Aku tertohok. Apakah males bilang “amin” artinya putus asa? Apakah dengan tidak bilang “amin”lagi aku sudah tidak percaya akan terkabulnya keinginanku?
Bahkan teman-teman kandidat juga selalu menyemangati. Mereka selalu berkata, “pasti nanti diterima. Gak mungkin kamu ditelantarin begitu aja sama IIE. Tetap semangat dan berdoa yah!”

Lha, itu dia!
Berdo’a! katanya doa adalah senjata bagi mereka yang beriman.

Ya, aku teramat percaya akan kekuatan doa. Tapi, untuk sekedar berdoa saja pun aku bingung. Aku tak tau harus berdoa apa. Bukankah Tuhan Maha Mengetahui? Ia tidak hanya mengetahui apa yang kita inginkan, lebih jauh dari itu, Tuhan tau apa yang terbaik untuk kita. Jika kita teramat menginginkan sesuatu, namun menurut Tuhan itu tidak baik untuk kita, apakah terlalu lancang jika kita tetap menuntutnya? Jika aku berdoa untuk diterima di Amerika, belum tentu kuliah di sana baik untukku. Atau, belum tentu nanti di sana aku malah dugem, bukannya kuliah. Tapi tetap saja, jika aku berdoa meminta jalan yang terbaik, aku takut jika jalan yang terbaik itu ternyata bukan di Amerika, karena aku sungguh-sungguh ingin kuliah di sana.

Tiba-tiba aku tersadar. Apakah memang yang terbaik untukku adalah tetap tinggal di Indonesia dan melanjutkan kuliahku di Undip? Jika memang aku lebih baik tetap tinggal di sini, mengapa Tuhan membiarkan aku berjalan hingga sejauh ini untuk mendapatkan beasiswa? Tinggal selangkah lagi..tinggal sejengkal lagi..dan aku tidak bisa meraihnya? Rasanya sangatlah menyayat dan mengiris-iris hati dengan sangat tipis-tipis lalu ditumis-tumis dengan jeruk nipis.

Baiklah, usaha yang telah kulakukan telah total. Tak ada lagi yang dapat kulakukan selain memasrahkannya pada Yang Maha Kuasa. Hingga akhirnya aku putuskan untuk berdoa seperti ini.

“Ya Allah, Engkau Maha Mengetahui segala sesuatunya. Hamba mohon, berilah hamba jalan yang terbaik. Ngomong-ngomong, Tuhan, Engkau pasti tahu kan apa yang hamba maksud dengan jalan yang terbaik? Terimakasih sebesar-besarnya atas Pengertian-Mu. Amiiiiiinnnn…”

Tiba-tiba, ada sebuah jawaban atas do’aku.
“Imas, sebenarnya mengapa kamu ngotot sekali ingin ke Amerika? Kan dulu udah pernah ke sana…apa masih belum puas?”

Dengan malu-malu aku menjawab.
“Mmm…dulu pas aku di sana, aku masih sendiri. Sekarang, aku pengen poto selfie bareng Suami dan Yesha di depan patung Liberty, biar bisa kami upload di fesbuk..maaf kalo hamba sedikit ingin pamer, Tuhan…hamba hanya manusia biasa…”

Jika seorang hamba ngotot berdoa apa yang dia inginkan, tidakkah ia terlalu lancang pada Tuhan?

Batang, 10 Mei 2014
Artikel Terkait

9 komentar :

  1. Salut buat perjuangan mbk dr awal sampe skrg, ditengah rutinitas sbg ibu, dosen, mhsiswa. Sy gagal di tahap interview. Stlh bc blog mbk sy jd sadar perjuangan sy blm ad apa apanya.
    Ceritanya dikemas dgn santai, sy tersenyum sendiri saat membacanya.
    Salam

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih sudah membaca tulisan acakadut saya :)

      Hapus
  2. Aaaa....been there, done that. Saya tau rasanya Mbak menunggu dalam ketidakpastian. Hiks.
    Tapi Insya Alloh, Tuhan selalu punya skenario terbaik untuk kita kok :)
    Eh, jadi akhirnya keterima dimana?

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul...betul..betul...we'll never know what God already knows! akhirnya aq jadi di Central Michigan University. Kamu juga skrng lagi di amrik kah? dimana?

      Hapus
  3. Saya di Purdue University Mbak, Indiana :). Literally di tengah ladang jagung... ahahahahaha XD. Salam kenal ya Mbak Imas. Ceritanya menginspirasi ^_^. Teman saya juga ada yang Fulbrighter Batch 2014, di Michigan juga, Mbak Wenta. Kalo ketemu, salam ya Mbak :)

    BalasHapus
  4. wah,.seru juga yah kuliah di ladng jagung..biasanya di tengah sawah padi,..heheh
    makasiiiih...biar kalo ada yg tanya tentang beasiswa, tinggal bilang "baca aja blogku" heheh
    temenku sekarang banyak jg yg di indiana,.terutama Indiana 'University.

    BalasHapus
  5. Dear Mbak Imas dan Mbak Utami,

    Saya kagum atas keberhasilan Mbak meraih beasiswa ini. Dari dulu saya ingin sekali seperti Mbak.
    Ada yang mau saya tanyakan, seberapa besar peluang bagi kandidat yang bekerja di sektor swasta seperti saya ini utk meraih beasiswa tsb? Setahu saya beasiswa ini diprioritaskan bagi mereka yg bekerja di sektor pemerintah seperti PNS.
    Mohon informasinya Mbak.
    Trims.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hello wayan...
      saya bukan PNS, hanya dosen tidak tetap di sebuah kampus kecil. sebagian besar teman2 saya juga bukan PNS, kebanyakan dari kami baru kerja sekitar 2-3 tahun setelah lulus. yang terpenting bukan kamu bekerja dimana, tapi sumbangsih apa yang akan kamu berikan pada tempatmu bekerja sepulangnya nanti dari amerika.

      Hapus
  6. Hallo, Mba.
    Saya mau tanya. Ketika mba sedang apply (mengirimkan dokumen) beasiswa Fulbright, berarti statusnya masih mahasiswa atau sudah cuti ketika mengirimkan berkas? Kebetulan saya sedang S2 di salah satu universitas di Indonesia (biaya sendiri), namun berminat untuk apply beasiswa Fulbright. Kalau boleh, saya ingin minta alamat email mba untuk tanya-tanya lebih detail. Terima kasih.

    BalasHapus