Jumat, 02 Mei 2014

Berburu Beasiswa S2 ke Amerika Part-3 (Overdoses of Tests)



Setelah wawancara beasiswa yang kacau dan memalukan,  aku tak berani berharap banyak bisa mendapatkan beasiswanya. Tapi, tanganku selalu refleks membuka email tiap kali membuka laptop. Meski jelas-jelas Pak Piet berkata bahwa pengumuman selanjutnya akan diinformasikan akhir Agustus, tapi aku mulai mengecek emailku dari awal Juli. Di satu sisi, aku yakin tidak diterima, namun di sisi lain, aku masih mengharapkanmu, oh beasiswaku sayang…. Hingga akhirnya, suatu sore sebelum solat ashar, aku melihat email ini; email yang membuat sholatku tidak khusyu’ (emangnya biasanya khusyu???).

August 29, 2013
Dear Ms. Istiani,
Congratulations! I am extremely pleased to inform you that you have been officially nominated as a principal candidate for a Fulbright scholarship to pursue study for a Master’s degree in the United States commencing with the Fall 2014 academic term.  Official and final selection for this prestigious program is contingent upon the approval of the J. William Fulbright Foreign Scholarship Board (FSB) in Washington, D.C., the amount of scholarship funds available for the 2014 Fulbright program, and your acceptance for admission by an accredited college or university in the United States.

Oh oh oh…. ALHAMDULILLAH!!! AKU DITERIMA!!! AKU KANDIDAT UTAMA!!!
Rasanya aku memiliki dua sayap yang besar dan lebar yang siap mengantarku ke langit ketujuh! Namun, baru nyampe langit kedua, tiba-tiba aku merosot kembali ke bumi demi melihat keseluruhan isi email!
Menjadi kandidat utama tidak bisa dijadikan jaminan 100% pasti berangkat ke Amrik. Masih ada banyak proses yang harus dilewati lagi yaitu beberapa tes; tes IBT, tes GRE umum, tes GRE Literature dan tahap terakhir yaitu Placement Process. Ok, IBT dulu pernah kuikuti. Setidaknya punya gambaran. Tapi, GRE? Tes apakah itu? Setelah kucari-cari informasinya, ternyata GRE adalah tes yang harus diambil oleh orang yang ingin kuliah master dan doctorate level di Amerika. Melalui hasil GRE inilah, kampus bisa menilai kemampuan akademis pelamarnya. Beruntungnya, semua tes dibiayai AMINEF! Padahal harga tes-tes itu lumayan mahal; satu tes aja bisa mencapai 2 jeti boooo!

Minggu selanjutnya aku mendapatkan jadwal untuk tes-tes tersebut. iBT di akhir September, GRE umum di awal Oktober dan GRE Literature di pertengahan Oktober. Oh Tuhan..jeda waktunya mepet-mepet sekali…satu bulan untuk 3 tes yang super duper sulitnya bagaikan menegakkan benang letoy. Bagaimana aku bisa membagi waktu antara belajar 3 tes itu, mengajar di 3 kampus, kuliah S2 di Undip, mengasuh anak sekaligus melayani suami?
Baiklah saudara-saudara…inilah kisah kasihku yang rumit dengan tes-tes yang membuai perasaan dan memabukkan pikiran sehingga aku overdosis karena mereka.

TES IBT(Internet Based TOEFL)
Untuk melamar kuliah di Amerika, bagi non-native speaker, tentu membutuhkan tes yang mengukur kemampuan Bahasa Inggris agar nanti saat kuliah tidak bengong kemasukan lalat gara-gara tidak mengerti dosennya ngomong apa. Standar skor untuk mendaftar S2 setidaknya 90. Namun, untuk bidang studi yang terkait dengan humaniora, setidaknya mendapat nilai 100 ke atas.

Oh, no!!! bisakah aku dapat 100???? Dulu, score iBT-ku sangat-sangat mengerikan!!! Berarti aku harus melipat gandakan kemampuan Bahasa Inggrisku. Tapi masalahnya cukup klasik; aku hampir-hampir tidak memiliki waktu luang! Jangankan untuk belajar tes, untuk memotong kukupun aku tidak sempat! Terhitung mulai September awal, aku resmi jadi mahasiswa linguistik S2 di Undip. Dulu, aku tidak yakin bisa mendapatkan beasiswa ini. Jadi, daripada membuang waktu, akhirnya aku memutuskan untuk kuliah S2 dengan biaya sendiri. Dan, dilemma pun dimulai…

Seperti inilah jadwalku dalam seminggu;
Senin - Rabu = mengajar dari pagi jam 7 hingga jam 10 malam.
Kamis = jam 3 pagi bangun, pergi ke Semarang. Kuliah jam 8 pagi hingga 6 sore.
Jumat = kuliah dari jam 9 pagi hingga jam 6 sore. Balik ke Pekalongan jam 7 malam.
Sabtu & Minggu = mengurus anak sambil menyiapkan materi mengajar dan mengerjakan tugas kuliah.

Ibu mana yang tega meninggalkan bayinya di pagi buta jam 3?
Yang membuatku merasa miris adalah anakku belum berusia 6 bulan saat itu. Masih ASI eksklusif, tapi harus ku tinggal-tinggal. Di sela-sela waktu kosong saat Yesha tidur, aku memompa ASI untuk stok saat kutinggal mengajar maupun kuliah. Sebenarnya ada jalan yang lebih mudah, yaitu susu formula. Tapi, aku merasa menjadi ibu yang buruk karena tidak memiliki waktu untuk Yesha. Setidaknya, dengan ASI ekslusif ini, aku berusaha memberikan yang terbaik untuknya.

Perjuangan berat lainnya adalah tiap kamis jam 3 pagi aku harus membangunkan suamiku untuk mengantarkanku ke Semarang. Dengan menembus pagi yang masih teramat gelap dan dingin, mata yang kantuk dan badan yang lelah sering membuatku hampir terjatuh dari motor yang kami kendarai. Suamiku harus selalu mengoceh sepanjang jalan mengajakku ngobrol agar aku terbebas dari kantuk. Sesampainya di Semarang, biasanya jam 6 pagi, kami sarapan di warung favorit kami yang membolehkan kami mengambil nasi dan lauknya sebanyak mungkin dengan harga yang semurah mungkin. Selesai sarapan, aku langsung ke kos untuk mengambil buku kuliah dan siap untuk belajar, sementara suamiku langsung balik lagi ke Pekalongan.


Dari keseluruhan jadwal satu minggu, aku hanya memiliki waktu luang di malam jumat selepas kuliah hingga jumat pagi sebelum kuliah. Sayangnya, perjalanan Pekalongan-Semarang yang langsung dilanjutkan dengan kuliah sering membuatku langsung ambruk begitu mencapai pintu kos. Tengah malam sering aku terbangun karena dadaku sakit, minta dipompa. Setelah memompa ASI, biasanya aku kuat belajar hanya sejam. Selanjutnya ambruk lagi. Benar-benar waktu tidur yang nikmat.

Semua rutinitas padat tersebut berjalan begitu cepat, hingga aku tak sadar bahwa tes iBT sudah di depan mata! Panik menyergap! Meski aku mengajar Bahasa Inggris, ku akui, Bahasa Inggrisku masih perlu direparasi sana-sini, itulah mengapa aku ingin kuliah lagi. Ku curi-curi waktu untuk belajar tes ini di sela-sela waktu yang ada. Salah satu waktu terluang yang ada adalah saat kuliah!

Teman terbaikku di Undip, Rani, heran dengan kelakuanku. Entah itu pelajaran Psikolinguistik, Semantik, Fonologi; yang kutekuri malahan tes-tes TOEFL. Belajar TOEFL saat kuliah linguistik adalah perbuatan baik yang dilakukan di tempat dan saat yang salah. Hasilnya bisa ditebak; aku tidak konsen belajar TOEFL maupun mata pelajaran kuliah lainnya. Semuanya tidak ada yang kecantol otak. Meski heran, namun Rani nampaknya memaklumiku. Ia,yang tidak memiliki kesibukan apapun selain kuliah di hari Kamis dan Jumat merasa berempati terhadapku dengan selalu mengingatkanku akan tugas-tugas kuliah.
 
“Neng..ada tugas fonologi lho..udah dikerjain belum?” Aku suka deh kalo Rani manggil aku ‘Neng’, berasa gadis kembali.
“Belum, Ran! Emangnya ada tugas ya?”
“Iiiihh…kamu tuh emang pelupa! Iya, ada tugas! Suruh cari allomorph dari morphem Bahasa Tagalog!”
“Kamu udah ngerjain, Ran? Nyontek dong…”
“Belum! Makanya aku ngingetin kamu untuk ngerjain, biar nanti aku bisa nyontek!”
 Haduh, ampun deh! Si Rani ini rajin ngingetin biar bisa nyontek rupanya!


Saat tes IBT tiba. Beruntung tesnya hari Minggu di Semarang, jadi aku tidak perlu bolos kuliah maupun mengajar. Karena persiapan yang mepet, hanya sebulan, itupun disertai kesibukan lainnya membuatku pasrah akan hasilnya. Selesai tes, aku berdoa, “Ya Allah..berapapun hasilnya..tolong..semoga di atas 100”.

GRE UMUM
GRE General Test (GRE Umum) adalah tes untuk mengukur kesiapan seseorang untuk belajar di tingkat pascasarjana. Tes ini telah diakui oleh ribuan institusi di banyak negara. Di satu sisi, tes ini memudahkan kita untuk melamar kampus karena kita tidak harus pergi tes ke kampus tersebut. Berbeda dengan di Indonesia. Jika kita ingin kuliah di UI, misal, kita harus mengikuti tes ujian masuk di kampus tersebut. Bayangkan kalau tidak ada GRE! Jika kita ingin melamar ke Harvard dan kita harus ikut tes ujian masuk di sana… uuuhh... berat di ongkos! Apalagi yang menyakitkan; udah pergi jauh-jauh, belum tentu diterima! Heheh..

Namun, di sisi lain, tes ini sulitnya luarrrrr biasaaaa…Ada 3 kemampuan yang diukur; verbal, qualitative dan analytical writing. Untuk verbal, penguasaan kosa kata harus sangat kaya raya. Kata-kata yang diujikan seperti bukan Bahasa Inggris! Doldrums, covetous, camaraderie, dll. Aku mencoba untuk menghafal setidaknya 50 kata dalam sehari. Jadi, dalam kurun waktu 20 hari, setidaknya ada 1000 kata baru yang semoga bisa membantu. Sayangnya, saat aku menghafalkan 50 kata baru hari ini, 50 kata yang kemarin sudah lupa, sehingga aku balik lagi dengan kata-kata kemarin. Hal ini terus berulang dan berulang, sehingga dalam 20 hari, aku hanya mampu menghafal kurang dari 100. Dan saat ini, saat artikel ini kutulis, dari 100 kata itu, aku hanya mampu mengingat 1 kata saja karena kata itu menjadi favoritku; yaitu RAVENOUS. Dari kata RAVEN saja sudah terdengar mengalun indah, belum lagi ditambahkan dengan monyongnya bibir saat mengucapkan OUS, terlebih artinya memang hal yang sering kurasakan, RAVENOUS = KELAPARAN.

Tempat boboku sebelum tes GRE
Untuk kemampuan qualitative alias hitung-hitungan, aku sudah mengibarkan bendera putih jauh-jauh hari. Terakhir kali aku berhubungan dengan angka-angka yang rumit itu sudah 6 tahun lalu, saat di kelas 3 SMA IPA, itupun nyontek temanku. Sementara untuk kemampuan menulis analitis, aku hanya mengandalkan kemampuan mengetik yang pernah menang lomba tingkat RT. (Jelas menang…lingkungan di RT-ku ibu-ibu semua)

Namun, dari kesemuanya yang tidak enak, yang paling enak dari tes GRE maupun iBT adalah semuanya dibayar AMINEF! Tidak hanya biaya tes, namun urusan bensin, bobo dan perut semuanya ditanggung AMINEF. Karena tes GRE di Jakarta, aku mendapat tiket pesawat dari Semarang. AMINEF juga memberikan penginapan di Hotel Gren Alia Cikini, hotel syariah berbintang dua yang berada tepat di seberang Taman Ismail Marzuki. Karena semuanya yang ngurus itu AMINEF, maka yang perlu aku siapkan cuma otak.

Sayangnya, satu-satunya hal yang harus aku siapkan itu malah ketinggalan! Aku lupa tidak membawa otakku saat tes! Ku cari di saku celana, tidak ada. Ku intip di bawah sepatu, tidak ada juga! Konsekuensinya, saat tes aku kelabakan! 100 kata yang sudah kuhafalkan tidak muncul satupun! Kata favoritku-RAVENOUS, tidak nongol di tes, malah di perutku. Sesi qualitative, hitung-hitungan hampir separuhnya bukanlah pilihan ganda. Aku tidak bisa menebak asal A, B, C atau D. Jawabannya harus diisi angka-angka yang  otomatis kuisi sembarangan dan tidak ada harapan sama sekali tebakanku bisa benar.

Sebelum tes GRE, wajahku masih segar. Setelah tes? Don't ask!
Sementara itu, saat sesi analytical writing, sebagian waktu kuhabiskan untuk berpikir dan berpikir apa maksud pertanyaan tersebut. Karena pertanyaannya saja aku tidak mengerti, maka tulisan yang kuhasilkan jauh dari yang diharapkan. Di sesi terakhir ini, mataku sudah mulai berair dan berkunang-kunang, tak kuat lagi memelototi layar computer. Tes ini dimulai dari jam 9an hingga jam 2 kurang. Bayangkan! Betapa lelahnya mata ini! Huruf-huruf di monitor mulai bergoyang, bintang-bintang mulai berpendaran. Help me!!! Aku butuh puyer 16 bintang toedjoe!
Perhatian, tes ini dapat menyebabkan mata merah, muka lecek, jantung berdebar, otak kusut, dan perut RAVENOUS! Terbukti!!!

GRE Subject (Sastra)
GRE juga memiliki tes khusus untuk 7 bidang studi, yaitu ; Sastra, Psikologi, Kimia, Biologi, Matematika, Fisika dan Biokimia. Karena bidang studiku sastra, maka aku harus mengambil GRE Subject.
Saat mencari tips untuk belajar GRE sastra, aku mendapat rekomendasi untuk membaca sekitar 200 novel yang biasanya muncul di tes. Busyeeeeet…waktuku cuma 2 minggu, gimana sempet baca 200 novel! Satu novel aja tidak selesai dalam 2 minggu! Akhirnya aku cuma belajar contoh soal sastra. Pertanyaan-pertanyaannya bagai mustahil kujawab. Misalnya seperti ini;
Hutan-hutan yang beterbangan
Burung-burung yang tersangkarkan
Daging-daging yang berserakan
Di atas piring
Pertanyaannya ; siapakah tokoh yang nantinya mencuci piring dalam puisi tersebut?
Nah, lho… mana kutau lah…judulnya apa..pengarangnya siapa apalagi kelanjutan puisinya seperti apa.

Meski susah, tapi tetap kupelajari. Ya, biar bisa dikatakan aku sudah berusaha mati-matian untuk belajar, heheh.. Di malam hari yang hening, ditemani secangkir kopi dan alunan lagu indah dari NOAH, suara tangisan memecahkan konsentrasiku. Yesha bangun dan minta ASI. Setelah Yesha tertidur kembali, aku kembali menekuri bacaanku. Namun, belum ada 5 menit, suara tangisan kembali pecah. Ternyata kini suamiku bangun dan minta *** (ups, sensor yah! Hahahah)

Senyum palsu sehabis GRE Sastra!
Tes GRE Sastra ini lagi-lagi di Jakarta. Dan lagi-lagi aku harus ke Jakarta! Terpaksa aku harus bolos kuliah dan kelasku diliburkan. (Padahal, asli, seneng! Sekalian refreshing)
Beruntung, untuk GRE Sastra, formatnya pilihan ganda di atas kertas, tidak seperti GRE Umum yang menggunakan komputer. Sialnya, jika menjawab salah, maka nilaiku akan berkurang. Mirip sistem penilaian SNMPTN lah…
Dan, saat kertas tes itu sudah di tanganku, dari sekitar 130 soal; tak ada satu soalpun yang ku yakini kebenaran jawabannya. Tidak disinggung-singgung mengenai Shakespeare! Tidak ada pula soal mengenai Harry Potter ataupun Twilight, padahal dua novel itu yang pernah kubaca versi inggrisnya, meski tidak tamat. Kancing baju tidak bisa kuandalkan kali ini, karena bajuku tidak ada kancingnya. Daripada aku tidak menjawab sama sekali, lebih baik aku menjawabnya dengan sistem memutar tasbih, maklum, wanita sholih,..hahah

Akhir Oktober
Alhamdulillah, semua tes telah berakhir. Setidaknya bebanku berkurang satu; tinggal konsentrasi untuk kuliahku yang sudah lama terbengkalai. Tumpukan tugas mahasiswa menantiku untuk dikoreksi. Saat aku surfing internet untuk mencari materi mengajar, rupanya ada email baru dari AMINEF. Dunia damaiku ternyata hanya sesaat saja!

Dear Imas,
AMINEF memutuskan bahwa anda diberikan kesempatan untuk mengulang tes IBT karena kami yakin bahwa anda mampu meningkatkan skor sehingga aplikasi anda bisa lebih kompetitif lagi dalam proses pendaftaran ke universitas di Amerika nanti. Kami akan mendaftarkan anda untuk tes tersebut sekitar pertengahan sampai dengan akhir November (tergantung dengan adanya seat untuk tes). Saya akan kirimkan email confirmation nya jika sudah terima dari ETS nanti.

APPPPPHHAAAAAHHHH?????? TES LAGIIIIIII????!!!!!!
Aku langsung tersungkur dari kursi dan ambruk ke lantai. Tubuhku kejang-kejang. Mulutku berbusa. Mataku terbelalak. Penyakit ayanku yang sudah 48 tahun tidak nongol kini kumat lagi.

*Batang, 2 Mei 2014
Artikel Terkait

6 komentar :

  1. endingnya ayan ya k :D keren :) hkhkhk

    BalasHapus
    Balasan
    1. sebenarnya ada yang lebih keren dari ayan...epilepsi...heheh

      Hapus
  2. Berikut Materi2 GRE untuk meningkatkan Nilai GRE dan mencapai Kampus Ranking 100 Besar Dunia:
    http://www.4shared.com/folder/5hTCmhnw/Materi-Materi_Ujian_GRE.htm

    BalasHapus
  3. mbak , mau tanya, kalau misalkan sudah punya sertifikat IELTS bisa tidak dipakai? jadi tidak perlu tes Toefl IBT lagi. terimakasih

    BalasHapus
  4. Excellent .. Amazing .. I’m satisfied to find so many helpful information here within the put up, we want work out extra strategies in this regard, thanks for sharing..
    GRE Training in Chennai | GRE Training institutes in Chennai

    BalasHapus
  5. These provided information was really so nice,thanks for giving that post

    and the more skills to develop after refer that post. Your articles really

    impressed for me,because of all information so nice.

    Self Employment
    Tax Preparation Services
    Tax Accountant
    Tax Consultant
    Tax Advisor

    BalasHapus