Awal dari Semua
15 Juli 2009
“Awwww…!!!!”
Aku
menjerit setelah ku cubit tanganku sendiri ketika pesawat terbang mungil dari
San Francisco mendarat sempurna di sebuah kota kecil, Arcata. Rupanya aku tidak
bermimpi bahwa kini aku berada di Amerika Serikat dengan ongkos sepenuhnya dari
pemerintah AS. Dari penjelasan satu-satunya pramugari yang ada, ia menerangkan
bahwa suhu di luar adalah 12 derajat C karena sedang berada dalam musim panas. Apppaaa????
Musim panasnya aja 12 derajat??? My oh My… Apa jaket baru yang ku beli di Mall Jakarta
sehari sebelumnya ini dapat menolongku dari serbuan udara dingin? (Meski ku
beli di Mall, jaket bulu sintetis made in China ini hanya dibandrol 30 ribu!
Aku curiga, mungkin karena tak laku-laku sehingga pemilik toko sudah gatal
ingin mengeluarkannya daripada nanti jamuran).
Ajib
bin dahsyat, meski hanya berselimutkan jaket murah meriah, terpaan angin dingin
tidak menggoyahkan langkahku untuk menjalani tahun yang bakal jauh berbeda. Ku
namakan ini Tahun Mimpi Kecil-ku karena telah ku impikan diam-diam sejak kecil. Tuhan memang Maha
Mengetahui hati manusiaJ. Lalu, hal apa saja yang paling
mengejutkan, mengesankan, membahagiakan dan menyedihkan selama berada di AS.
Let’s cekidot, gan!!!!
Fakta (yang Tidak
Terlalu) Mengejutkan Tentang AS; Penderita Jantung Koroner Dilarang Membaca Ini
Subjudul yang teramat panjang,hehe… Tapi
aku harap, fakta yang ku beberkan setimpal dengan subjudul yang ku berikan
Sudah
teramat lumrah bila terbayang AS maka terbayang pula segala bentuk kemewahan
fasilitas, kemudahan akses, kenikmatan duniawi, de el el (as we see in movies).
Makanya aku terkaget-kaget ketika melihat banyak gelandangan atau homeless
di kota kecilku Arcata, tak terbayangkan lagi jumlah mereka yang membludak di
kota-kota besar seperti Los Angeles, New York, Seattle, dll. Guru teaterku,
John bilang bahwa sebagian besar homeless
adalah pelarian dari pengguna narkoba yang sudah akut, ato bisa juga karena
terpengaruh oleh komunitas sesama pecandu.
Berdasarkan pengamatan selama
setahun, untuk memudahkan pengidentifikasian homeless teramatlah gampang, seperti berikut ini:
1.
Bau mereka tidak jauh dari minuman keras, ganja,
obat-obatan terlarang ditambah bau apek akibat tidak mandi berhari-hari.
2.
Tampilan mereka jauh dari Harajuku style. Biasanya memakai jaket lusuh, dengan untaian syal
sembarang dan tutup kepala dari apa saja. Tak peduli biru muda ditabrak dengan
hijau tua. Yang penting be different
euy!!!
3.
Suka bawa tas gede yang lusuh dan robek sana-sini.
Bahkan banyak juga yang dengan pedenya mendorong-dorong trolley swalayan dan membawanya seenak udel hingga ke jalanan
ataupun ke tempat tinggal sementara mereka.
4.
Jadi, yang merasa style-nya hampir mirip dengan yang baru saja saya sebutkan,
sungguh, hal itu tidak saya rekayasa :D
Bantuan makanan bagi gelandangan di Portland, Oregon |
Pernah, suatu malam, setelah jalan-jalan ma
geng-ku dari kota tetangga, dari bis yang berjalan, aku melihat keributan dan
berbagai poster yang berisi protes. Rupanya, sebuah tanah lapang kecil yang
biasanya dijadikan hotel darurat para homeless
malam itu tengah dikelilingi pita kuning garis polisi. Otomatis mereka tak bisa
memejamkan mata dengan nyaman, meski sejenak. “Kami juga manusia”, mungkin
seperti itulah bunyi protes homeless
itu. Dipikir-pikir, duh…kasian juga...para homeless
yang notebene adalah warga AS sendiri sangat kesulitan untuk bisa hidup layak,
aku yang orang Indonesia malah bisa jalan-jalan plus enak-enakan pake uang
negara merekaL. Namun hati kecilku yang lain tetap
menanyakan mengapa mereka bisa tercebur pada dunia gelandangan seperti itu?
Apakah itu pilihan sendiri, paksaan ataukah suratan nasib? Bukankah Amerika
Serikat adalah land of dream, dimana
orang yang berusaha keras pasti akan mendapatkan kesuksesan.
Bagaimanapun
juga, embel-embel developed country,
superpower country, negara kaya ato julukan lainnya tidak berarti negara
yang bebas dari permasalahan. Kemelut ekonomi, goncangan politik, gejolak
sosial de el el masih terasa di negeri yang diklaim ditemukan orang Eropa
bernama Columbus ini (padahal penemu pertama benua Amerika ya orang Indian
lah…). Makin tinggi pohon menjulang,
makin besar angin menghadang, begitu pepatah nenek moyang kita. Senada juga
dengan petuah Paman Ben kepada keponakan tersayangnya, Peter Parker, “with
great power comes great responsibility”. Jadi kalau tidak ingin diterpa
permasalahan pelit, jangan jadi orang yang terlalu maju. Kalau tidak kuat
mental, bisa-bisa jadi pelanggan RSJ,.haiiyyyaaahhh…aliran sesat
neeeh,.hehehehe
Jadi Tukang Bersihin Rumah
Gelandangan
Cerita lain
tentang homeless adalah ketika aku
dan teman karibku dari Mongolia mengikuti Community Service, kurang lebih
seperti kerja bakti sukarela, yang diselenggarakan Pemkot Arcata dengan tema
“Bersih-Bersih Rawa”. Selain kami, ada juga sekitar 20 anak SMP yang mengikuti
kegiatan ini. Dengan riangnya, anak-anak itu berceloteh bersama kawan
masing-masing, sementara aku dan Miga terlihat khusyuk memungut sampah. Aku
sedikit merengut, menganggap mereka hanya bermain-main saja. Siapa nyana,
ternyata meski terlihat tidak serius, para siswa tersebut rela hingga menceburkan
diri ke kubangan air rawa yang dipenuhi jentik nyamuk dan binatang air lainnya
hanya untuk memungut sampah kaleng yang mengapung!
Kami menyusuri
jalan setapak yang dulunya adalah rel kereta api. Banyak sampah tissue yang berserakan.
Jika berpikir kemungkinan sampah tissue tersebut bekas membersihkan tinja, aku
merasa mual. Namun aku menolak pemikiranku sendiri, mana ada orang yang buang
air sembarangan di sekitar rawa pada zaman ini? (Masih banyak kaleee broooo…)
Sebagai bentuk
solidaritas, kami saling berteriak jika ada kotoran anjing yang memang
beterbaran di jalanan yang kami lalui. Kami memunguti sampah sekecil apapun
itu, berharap tak akan ada lagi sampah yang dibuang tidak pada tempatnya. Sampailah
kami di bagian lapangan Arcata Marsh. Awalnya aku heran karena menemukan
beberapa potong baju bekas dan jeans, ataupun handuk. Lebih heran lagi ketika
kulihat ada parasut tenda, bantal hingga kasur lipat. Usut punya usut, ternyata
pada musim panas, para homeless tidur
di sana dengan tenda seadanya. Namun, jika hujan mulai mengguyur, mereka
meninggalkan barang-barang mereka begitu saja untuk hijrah ke tempat lain yang
lebih hangat. Aku merutuk dalam hati akan sikap mereka yang begitu tidak peduli
pada lingkungan.
Rawa cantik yang jadi hotel sesaat bagi homeless |
Dengan
merundukan kepala dan menciutkan badan karena lebatnya pohon bakau yang
mengular, kami berhasil menembus ke dalam rawa. Kami menahan nafas, tercengang
akan temuan sampah yang sangat menggunung yang tak terlihat dari luar karena
tertutup pepohonan rimbun. Dari mulai botol-botol minuman keras, plastik snack,
sampah kamar mandi, kasur lipat hingga pakaian. Bertekad untuk membersihkan
segala bentuk sampah, aku memasukkan apapun, baik plastik, gelas kaca maupun
besi pada kantung sampah plastikku yang panjangnya satu meter itu. Ketika
kutemukan botol gelas minuman jus jeruk yang masih berisi di dalamnya, kutumpahkan
minuman itu agar tidak memberati kantung sampahku yang terasa makin susah
dibawa.
“Noooooo!!!!!”
teriakan Miga bagaikan raungan seorang istri yang mendapati suaminya selingkuh.
“Ada apa?”
tanyaku bertanya-tanya.
“Kenapa kamu
buang air itu?” tunjuk Miga dengan penuh kejijikan padaku dan botol gelas jus
jerukku. Aku yang keheranan mengiranya sedang haus dan ingin minum menjawab
dengan perasaan bersalah, ”karena kalau airnya tidak buang nanti akan memberati
karungku saja. Apa kamu haus? Nih, masih ada sisa” tawarku.
“Hell no…Kamu
tau air apa itu?” Miga balik tanya.
“Lho.. kok
tanya? Ini kan botol jus jeruk, isinya air jeruk lah..!” aku makin keheranan
oleh pertanyaannya. Masa iya Miga yang sudah 5 bulan di Amerika Serikat tidak
tau merek minuman itu?
“Bukan!itu tuh
air k*****g tau!” teriak Miga, kali ini sambil tertawa, melihat parasku yang
berubah pucat.
“Aaaapppaaa???Bohong!
air jeruk biasa ko!” belaku mempertahankan diri.
“Hey, mana ada
orang yang membuang air jeruk dengan isi yang masih penuh!” kali ini ledekannya
makin keras. Eh, iya juga yaaaa???
Sedikit lola aku baru menyadari kebenaran ini.
“Nooooo!!!!”
tiba-tiba tanganku yang barusan memegang botol langsung terasa kotor dan jijik.
Pasti air k******g itu sudah berada di dalam botol hingga berbulan-bulan karena
sampah di sini kebanyakan berasal dari musim panas lalu. Karena tidak ada air
untuk cuci tangan, aku menggunakan hand sanitizer yang tersedia, berharap virus
dan bakteri yang terlanjur terperangkap dalam tanganku bisa dibasmi sesegera
mungkin. Perbuatan baikku harus ternodai dengan air k*****g itu. Sungguh
menyebalkan!
Permasalah
gelandangan atau tuna wisma tidak sesederhana yang saya ceritakan. Saya juga
pernah dengar, bahwa banyak juga yang memilih menjadi gelandangan sebagai jalan
hidup, karena mereka tidak suka terikat pada aturan negara, sosial, budaya,
agama, ato lainnya. Kalo sudah karena alasan jalan hidup, apa kita masih bisa
memaksakan kehendak kita agar mereka hidup lebih teratur? Toh, jika mereka
bahagia dengan jalan hidupnya, nothing can we do about it.
Artikel Terkait
Tidak ada komentar :
Posting Komentar