Sabtu, 05 April 2014

Gado-Gado dari Amerika (Part 1 : Tentang Homeless)



Awal dari Semua

15 Juli 2009

“Awwww…!!!!”

Aku menjerit setelah ku cubit tanganku sendiri ketika pesawat terbang mungil dari San Francisco mendarat sempurna di sebuah kota kecil, Arcata. Rupanya aku tidak bermimpi bahwa kini aku berada di Amerika Serikat dengan ongkos sepenuhnya dari pemerintah AS. Dari penjelasan satu-satunya pramugari yang ada, ia menerangkan bahwa suhu di luar adalah 12 derajat C karena sedang berada dalam musim panas. Apppaaa???? Musim panasnya aja 12 derajat??? My oh My… Apa jaket baru yang ku beli di Mall Jakarta sehari sebelumnya ini dapat menolongku dari serbuan udara dingin? (Meski ku beli di Mall, jaket bulu sintetis made in China ini hanya dibandrol 30 ribu! Aku curiga, mungkin karena tak laku-laku sehingga pemilik toko sudah gatal ingin mengeluarkannya daripada nanti jamuran).

Ajib bin dahsyat, meski hanya berselimutkan jaket murah meriah, terpaan angin dingin tidak menggoyahkan langkahku untuk menjalani tahun yang bakal jauh berbeda. Ku namakan ini Tahun Mimpi Kecil-ku karena telah ku impikan  diam-diam sejak kecil. Tuhan memang Maha Mengetahui hati manusiaJ. Lalu, hal apa saja yang paling mengejutkan, mengesankan, membahagiakan dan menyedihkan selama berada di AS. Let’s cekidot, gan!!!!


Fakta (yang Tidak Terlalu) Mengejutkan Tentang AS; Penderita Jantung Koroner Dilarang Membaca Ini

Subjudul yang teramat panjang,hehe… Tapi aku harap, fakta yang ku beberkan setimpal dengan subjudul yang ku berikan


Sudah teramat lumrah bila terbayang AS maka terbayang pula segala bentuk kemewahan fasilitas, kemudahan akses, kenikmatan duniawi, de el el (as we see in movies). Makanya aku terkaget-kaget ketika melihat banyak gelandangan  atau homeless di kota kecilku Arcata, tak terbayangkan lagi jumlah mereka yang membludak di kota-kota besar seperti Los Angeles, New York, Seattle, dll. Guru teaterku, John bilang bahwa sebagian besar homeless adalah pelarian dari pengguna narkoba yang sudah akut, ato bisa juga karena terpengaruh oleh komunitas sesama pecandu.
Berdasarkan pengamatan selama setahun, untuk memudahkan pengidentifikasian homeless teramatlah gampang, seperti berikut ini:

1.      Bau mereka tidak jauh dari minuman keras, ganja, obat-obatan terlarang ditambah bau apek akibat tidak mandi berhari-hari.

2.      Tampilan mereka jauh dari Harajuku style. Biasanya memakai jaket lusuh, dengan untaian syal sembarang dan tutup kepala dari apa saja. Tak peduli biru muda ditabrak dengan hijau tua. Yang penting be different euy!!!

3.      Suka bawa tas gede yang lusuh dan robek sana-sini. Bahkan banyak juga yang dengan pedenya mendorong-dorong trolley swalayan dan membawanya seenak udel hingga ke jalanan ataupun ke tempat tinggal sementara mereka.

4.      Jadi, yang merasa style-nya hampir mirip dengan yang baru saja saya sebutkan, sungguh, hal itu tidak saya rekayasa :D

Bantuan makanan bagi gelandangan di Portland, Oregon
 Pernah, suatu malam, setelah jalan-jalan ma geng-ku dari kota tetangga, dari bis yang berjalan, aku melihat keributan dan berbagai poster yang berisi protes. Rupanya, sebuah tanah lapang kecil yang biasanya dijadikan hotel darurat para homeless malam itu tengah dikelilingi pita kuning garis polisi. Otomatis mereka tak bisa memejamkan mata dengan nyaman, meski sejenak. “Kami juga manusia”, mungkin seperti itulah bunyi protes homeless itu. Dipikir-pikir, duh…kasian juga...para homeless yang notebene adalah warga AS sendiri sangat kesulitan untuk bisa hidup layak, aku yang orang Indonesia malah bisa jalan-jalan plus enak-enakan pake uang negara merekaL. Namun hati kecilku yang lain tetap menanyakan mengapa mereka bisa tercebur pada dunia gelandangan seperti itu? Apakah itu pilihan sendiri, paksaan ataukah suratan nasib? Bukankah Amerika Serikat adalah land of dream, dimana orang yang berusaha keras pasti akan mendapatkan kesuksesan.


Bagaimanapun juga, embel-embel developed country, superpower country, negara kaya ato julukan lainnya tidak berarti negara yang bebas dari permasalahan. Kemelut ekonomi, goncangan politik, gejolak sosial de el el masih terasa di negeri yang diklaim ditemukan orang Eropa bernama Columbus ini (padahal penemu pertama benua Amerika ya orang Indian lah…). Makin tinggi pohon menjulang, makin besar angin menghadang, begitu pepatah nenek moyang kita. Senada juga dengan petuah Paman Ben kepada keponakan tersayangnya, Peter Parker, “with great power comes great responsibility”. Jadi kalau tidak ingin diterpa permasalahan pelit, jangan jadi orang yang terlalu maju. Kalau tidak kuat mental, bisa-bisa jadi pelanggan RSJ,.haiiyyyaaahhh…aliran sesat neeeh,.hehehehe


Jadi Tukang Bersihin Rumah Gelandangan


Cerita lain tentang homeless adalah ketika aku dan teman karibku dari Mongolia mengikuti Community Service, kurang lebih seperti kerja bakti sukarela, yang diselenggarakan Pemkot Arcata dengan tema “Bersih-Bersih Rawa”. Selain kami, ada juga sekitar 20 anak SMP yang mengikuti kegiatan ini. Dengan riangnya, anak-anak itu berceloteh bersama kawan masing-masing, sementara aku dan Miga terlihat khusyuk memungut sampah. Aku sedikit merengut, menganggap mereka hanya bermain-main saja. Siapa nyana, ternyata meski terlihat tidak serius, para siswa tersebut rela hingga menceburkan diri ke kubangan air rawa yang dipenuhi jentik nyamuk dan binatang air lainnya hanya untuk memungut sampah kaleng yang mengapung!


Kami menyusuri jalan setapak yang dulunya adalah rel kereta api. Banyak sampah tissue yang berserakan. Jika berpikir kemungkinan sampah tissue tersebut bekas membersihkan tinja, aku merasa mual. Namun aku menolak pemikiranku sendiri, mana ada orang yang buang air sembarangan di sekitar rawa pada zaman ini? (Masih banyak kaleee broooo…)


Sebagai bentuk solidaritas, kami saling berteriak jika ada kotoran anjing yang memang beterbaran di jalanan yang kami lalui. Kami memunguti sampah sekecil apapun itu, berharap tak akan ada lagi sampah yang dibuang tidak pada tempatnya. Sampailah kami di bagian lapangan Arcata Marsh. Awalnya aku heran karena menemukan beberapa potong baju bekas dan jeans, ataupun handuk. Lebih heran lagi ketika kulihat ada parasut tenda, bantal hingga kasur lipat. Usut punya usut, ternyata pada musim panas, para homeless tidur di sana dengan tenda seadanya. Namun, jika hujan mulai mengguyur, mereka meninggalkan barang-barang mereka begitu saja untuk hijrah ke tempat lain yang lebih hangat. Aku merutuk dalam hati akan sikap mereka yang begitu tidak peduli pada lingkungan.


Rawa cantik yang jadi hotel sesaat bagi homeless
Dengan merundukan kepala dan menciutkan badan karena lebatnya pohon bakau yang mengular, kami berhasil menembus ke dalam rawa. Kami menahan nafas, tercengang akan temuan sampah yang sangat menggunung yang tak terlihat dari luar karena tertutup pepohonan rimbun. Dari mulai botol-botol minuman keras, plastik snack, sampah kamar mandi, kasur lipat hingga pakaian. Bertekad untuk membersihkan segala bentuk sampah, aku memasukkan apapun, baik plastik, gelas kaca maupun besi pada kantung sampah plastikku yang panjangnya satu meter itu. Ketika kutemukan botol gelas minuman jus jeruk yang masih berisi di dalamnya, kutumpahkan minuman itu agar tidak memberati kantung sampahku yang terasa makin susah dibawa.

“Noooooo!!!!!” teriakan Miga bagaikan raungan seorang istri yang mendapati suaminya selingkuh.

“Ada apa?” tanyaku bertanya-tanya.

“Kenapa kamu buang air itu?” tunjuk Miga dengan penuh kejijikan padaku dan botol gelas jus jerukku. Aku yang keheranan mengiranya sedang haus dan ingin minum menjawab dengan perasaan bersalah, ”karena kalau airnya tidak buang nanti akan memberati karungku saja. Apa kamu haus? Nih, masih ada sisa” tawarku.

“Hell no…Kamu tau air apa itu?” Miga balik tanya.

“Lho.. kok tanya? Ini kan botol jus jeruk, isinya air jeruk lah..!” aku makin keheranan oleh pertanyaannya. Masa iya Miga yang sudah 5 bulan di Amerika Serikat tidak tau merek minuman itu?

“Bukan!itu tuh air k*****g tau!” teriak Miga, kali ini sambil tertawa, melihat parasku yang berubah pucat.

“Aaaapppaaa???Bohong! air jeruk biasa ko!” belaku mempertahankan diri.

“Hey, mana ada orang yang membuang air jeruk dengan isi yang masih penuh!” kali ini ledekannya makin keras. Eh, iya juga yaaaa??? Sedikit lola aku baru menyadari kebenaran ini.

“Nooooo!!!!” tiba-tiba tanganku yang barusan memegang botol langsung terasa kotor dan jijik. Pasti air k******g itu sudah berada di dalam botol hingga berbulan-bulan karena sampah di sini kebanyakan berasal dari musim panas lalu. Karena tidak ada air untuk cuci tangan, aku menggunakan hand sanitizer yang tersedia, berharap virus dan bakteri yang terlanjur terperangkap dalam tanganku bisa dibasmi sesegera mungkin. Perbuatan baikku harus ternodai dengan air k*****g itu. Sungguh menyebalkan!



Permasalah gelandangan atau tuna wisma tidak sesederhana yang saya ceritakan. Saya juga pernah dengar, bahwa banyak juga yang memilih menjadi gelandangan sebagai jalan hidup, karena mereka tidak suka terikat pada aturan negara, sosial, budaya, agama, ato lainnya. Kalo sudah karena alasan jalan hidup, apa kita masih bisa memaksakan kehendak kita agar mereka hidup lebih teratur? Toh, jika mereka bahagia dengan jalan hidupnya, nothing can we do about it.
Artikel Terkait

Tidak ada komentar :

Posting Komentar