Boleh dibilang kini perempuan mengalami kemajuan yang pesat jika kita melihat begitu banyaknya perempuan yang berkancah hingga di dunia internasional. Siapa yang tak kenal keanggunan Lady Diana, yang kematian tragisnya ditangisi jutaan penduduk bumi? Dengan jiwa pemberontaknya terhadap otoriter kerajaan Inggris, ‘Princess of People’ ini begitu diidolai, bahkan hingga kini. Bahkan meski terkungkung jeruji di rumah sendiri, Aung San Suu Kyi, sang pemimpin demokrasi di Myanmar masih bisa memengaruhi simpatisan dengan caranya sendiri.
Kartini kini boleh mulai berbangga karena jiwa emansipasi yang diusungnya kini mulai berkobar hingga pelosok negeri. Prosentase perempuan yang bekerja kini meningkat drastis. Ruang lingkup perempuan yang dulunya hanya sekitar dapur, sumur dan kasur kini bertambah; atau malah tergerus tergantikan? Tak bisa dipungkiri hampir semua pekerjaan yang dulunya hanyalah ‘male only’ kini bisa dimasuki oleh perempuan-perempuan yang bisa kita sebut ‘career women’. Alasan dibalik pekerjaan, selain karena memang terbukanya kesempatan yang sudah luas adalah mereka harus bekerja demi dapur keluarga karena gaji suami yang tak cukup. Ada juga yang bekerja karena ingin mengaplikasikan ilmu yang didapatnya secara susah di perguruan tinggi. Banyak juga yang bekerja demi menyalurkan kreatifitas yang dimiliki atau bakat yang ‘eman-eman’ kalau dianggurkan begitu saja.
Lalu bagaimana dengan keluarga? Sudah banyak kasus bahwa keluarga yang suami dan istrinya berkutat dengan pekerjaan sedari pagi hingga larut malam menyerahkan urusan anak pada pembantu, baby sitter, tempat penitipan anak hingga tetangga. Yang ingin mereka ketahui adalah kebutuhan sang anak tercukupi, sandang, pangan maupun papan. Tak ayal, anak menjadi lebih dekat secara emosi dengan pengasuh mereka. Celakanya, ketika sang anak beranjak dewasa, kedekatan itu belum juga tersentuh baik antara sang anak dan orang tuanya. Kasus pembangkangan terhadap orang tua, keterasingan di tengah keluarga sendiri hingga keacuhan terhadap keluarga terjadi pada kedua orang tua yang terlalu sibuk bekerja. Dampak ketidakharmonisan keluarga bisa merembet ke luar pagar rumah. ‘Broken home children’ sering kali melampiaskan kekesalan dalam keluarga melalui hal yang membahayakan tak hanya pribadinya, namun juga dapat meresahkan masyarakat. Kasus narkoba, pergaulan bebas yang rentan AIDS, kehidupan malam yang liar, terbengkalainya pendidikan menjadi kebanyakan akhir dari nasib anak yang merasakan disfungsi keluarga.
Hal tersebut tentu bukanlah menjadi impian bagi pasangan suami istri manapun dalam keluarganya. Harmonisnya kehidupan keluarga dengan pangan, papan dan sandang yang tercukupi menjadi tidak berarti. Dengan begitu maka tujuan dari emansipasi wanita; yaitu memberikan wanita hak yang sama seperti yang lelaki dapatkan dengan harapan agar terjadi kehidupan yang ideal antara lelaki dan wanita, atau lebih spesifiknya suami dan istri mengarah pada akhir yang salah. Jika sudah begitu, ada yang salah dengan penerapan kebebasan bagi perempuan ini.
Tentu, keadaan demikian tidak dapat disalahkan dari satu pihak saja, perempuan. Fungsi utama istri/ibu sebagai Angel of Home dalam masa emansipasi ini berarti pembagian tugas dan tanggungjawab dalam mendidik anak juga harus dipikul suami/ayah. Kedua pihak mestinya kembali memikirkan ulang fungsi bekerja mencari nafkah untuk keluarga. Dengan terlalu berlarut dalam pekerjaan, tujuan utama yaitu kesejahteraan keluarga bisa terabaikan. Disfungsi pencarian nafkah berakibat salah total dalam pemenuhan tujuan akhir. Dengan mencari cara agar kebutuhan jiwa anak akan peranan orang tua bisa terpenuhi setidaknya dapat meminimalisir sebutan ‘broken home child’.
Angels of Home
Istilah ‘Angels of home’ yang disematkan untuk para ibu rumah tangga yang seluruh harinya dipersembahkan untuk buah hati kini rupanya mulai tak lagi ada arti. Populasi penduduk Indonesia yang kini lebih banyak wanita tak mengherankan publik jika wanita kini sudah memasuki sektor pekerjaan macam manapun yang dulunya hanya diperbolehkan bagi kaum adam. Wanita yang dinilai memiliki kelebihan adalah bagi mereka yang memiliki karier, pekerjaan atau jabatan selain hanya sebagai ibu rumah tangga. Oleh karenanya hampir kebanyakan wanita yang tak bekerja merasa tertekan karena malu akan status yang disandang. Status IRT bukan hanya disandang sebelah mata namun dirasa sebagai bentuk kepasrahan total dan buta sang istri kepada suaminya. Klaim bahwa IRT adalah segulir wanita yang tak peka terhadap zaman emansipasi merupakan sindiran yang tak bisa diacuhkan. Kaum IRT mulai merasa kehilangan identitas dan kepercayaan diri. Pemaksaan diri untuk mengabdi di luar rumah pun tak terelakkan. Hasilnya adalah inkonsistensi pemilihan prioritas antara anak yang butuh waktu banyak dan pekerjaan yang dapat menaikkan harga diri.
Dalam menyikapi masalah krisis identitas di atas, ada baiknya kita menilik kembali terhadap makna emansipasi wanita yang diperjuangkan Kartini. Kebebasan bagi wanita berarti bebas dalam menentukan sikap dan pilihan; bukan harus bekerja membanting tulang sama atau bahkan lebih keras dari lelaki. Jika pilihan sebagai Ibu Rumah Tangga adalah keinginan pribadi yang didasarkan pada totalitas dalam mengabdi terhadap keluarga, hal itu masih termasuk dalam kategori emansipasi. Semboyan bahwa dibalik lelaki yang kuat terdapat wanita yang hebat adalah bukan isapan jempol belaka. Banyak pembuktian yang menunjukan bahwa dalam masa keterperukan suami di luar rumah, dukungan dan semangat istri dari dalam rumah bisa membangkitkan mental lemah suami. Tengoklah kisah mengharukan Habibie-Ainun(alm). Meski mendapatkan cerca maki dan tekanan dari kebanyakan masyarakat saat ia menjabat sebagai Presiden RI, Habibie mendapatkan kekuatannya kembali melalui suntikan kasih sayang Ainun(alm).
Artikel Terkait
salam sukses gan, bagi2 motivasi .,
BalasHapusPikiran yang positiv dan tindakan yang positiv akan membawamu pada hasil yang positiv.,.
ditunggu kunjungan baliknya gan .,.