Washington, DC, 3
Januari 2015 (part-1)
Kelelahan berkeliling
Pittsburgh yang amat sangat mengantarkan kami ke dalam buaian mimpi yang indah.
Terlebih bis yang kami tumpangi berjalan teramat halus dan lembut, bagai jari
jemariku (eh? Masa?). Kami hanya terbangun saat bis sudah mulai memasuki
kawasan kota karena jalan bis lebih lambat. Mata kami langsung segar bugar saat
bis berhenti di Union Station yang menjadi tempat mangkalnya bis
antar-kota-antar-propinsi, bus dalam kota hingga kereta api AMTRAK. Terminal
pusat DC ini lumayan besar dan luas meski hanya memiliki dua lantai dimana
lantai pertama untuk AMTRAK dan lantai kedua untuk bis. Meski sudah ada
sentuhan-sentuhan modern, kami bisa merasakan bau kuno dari tembok bangunan
ini. Lantai dua ini tidak sepenuhnya ditutupi dinding sehingga sebagian kawasan
memiliki open space dimana angin pagi berhembus kencang, membuat kami menggigil
kedinginan dan segera turun ke lantai 1 yang lebih tertutup dan tentunya lebih
hangat.
Saat kami turun ke
lantai 1, keadaan terminal sangat sepi, hanya segelintir penumpang yang turun
bersamaan dengan kami. Lantai ini selain menjadi tempat tunggu dan
pemberhentian AMTRAK juga terdapat pertokoan yang menjajakan souvenir hingga
makanan. Namun hampir seluruh toko masih tutup padahal perut kami mulai
bergemuruh. Karena Subuh masih jam 7, kami masih memiliki dua jam untuk sarapan
dan mencari tempat strategis untuk solat. Di salah satu ujung lorong dekat
women restroom, kami melihat kesibukan kecil di sana. Ternyata McDonald! Jam 5
sepagi ini, hanya McDonald yang sudah menggeliat bangun dan melayani konsumen.
Aku hanya memesan kopi karena kami masih memiliki brownies yang sudah kami
pikul di punggung semenjak 3 hari yang lalu. Apalagi dari Pittsburgh, aku juga
masih memiliki sisa kebab kambing dan chicken tandoori yang sudah mendingin dan
dagingnya liat di gigi. Lumayan, pagi-pagi mulutku sudah olahraga mengunyah
ayam alot ini.
Saat kami tengah
menyantap sarapan di dalam McDonald, kami mengedarkan pandang melihat siapa
saja “teman” kami pagi ini. Ternyata oh ternyata, selain kami, ada sekitar enam
orang lainnya; semuanya orang kulit hitam yang sebagian besar berumur 50 tahun
ke atas. Mereka semua mengenakan jaket lusuh, sepatu kets kotor, jins belel dan
topi rajut penahan dingin. Intinya: mereka seperti gembel jalanan. Entah
mengapa, aku merasa familiar dengan penampilan mereka. Saat kulihat dua lelaki
di depanku, Bambang dan Suamiku, style mereka hampir sama dengan gembel di
sekitar kami!
“Eh…perhatikan deh.. di
McD ini kok isinya gembel semua? Mana penampilan mereka mirip kalian lagi!”
Ujarku. Bambang dan Suamiku akhirnya memperhatikan dan menyadari bahwa McD
buka-buka pagi ini untuk “menyambut” para gembel kelaparan yang tidak punya
tempat tidur selain jalanan dan terminal.
“Iya ya.. Kalau di
Indonesia, McD itu untuk kaum menengah ke atas. Di sini, ternyata untuk
gembel!” Seru Bambang.
“Iya, dan kita termasuk
salah satu gembel itu!” Simpulku dan kami terkikik pelan, menyadari nasib
mengenaskan ini.
Saat perutku mulai
penuh, tiba-tiba semilir wewangian mulai merasuki hidungku. Spontan kepalaku
menengok ke arah sumber bau yang berasal dari salah satu wanita gemuk yang
tengah melahap French fries sambil berkata “Iiiih….bau sepatu!”
Suamiku menyodokku
pelan. “Sttt… Jangan ngomong keras-keras!”
“Dia gak bakalan ngerti
kali!” Belaku.
“Meskipun dia ga
ngerti, tapi Bahasa tubuhmu itu terlalu keliatan.”
“Oh ya?” Keningku
berkerut, tapi memang masuk akal. Meski wanita itu kemungkinan besar tidak
mengerti yang kuucapkan, tapi dari caraku berbicara dan hidungku yang kembang
kempis berusaha mengusir bau sepatu, tentu ia paham apa yang kumaksud. Aku jadi
tidak enak sendiri. Segera kualihkan percakapan ke planning kita selanjutnya. Melihat
suasana terminal yang masih sepi, aku mengusulkan untuk solat di dalam terminal
saja, namun Suamiku yang rupanya masih trauma akan kejadian tadi malam di
Pittsburgh menolak mentah-mentah ideku ini. Setelah berembuk, kami sepakat untuk mengambil
wudhu di dalam terminal dan mencari tempat solat di taman-taman yang banyak
bertebaran di DC.
Meski sudah jam 7 pagi,
suasana masih gelap gulita seperti laiknya jam 3 pagi. Gerimis perlahan mulai
menemani pencarian kami untuk menemukan tempat solat. Dari arah pintu utama
Union Station, kami dapat melihat kubah US Capitol yang begitu terang
benderang. Hamparan taman luas dan memanjang di antara Capitol dan Union
Station merupakan tempat yang pas untuk solat Subuh. Menunaikan solat subuh di
tengah taman Ibukota Amerika Serikat menciptakan sensasi tersendiri. Meski
susah sungguh, namun kami berusaha untuk mengingatMu penuh seluruh di antara
peluh dan keluh ini (beuh… Chairil Anwar banggedh).
Pasak besi di kubah makin memancarkan pijar lampu |
Setelah Subuh, kami
berusaha memotret Capitol Dome yang berpijar-pijar dengan indahnya, meski jarak
dari taman ke Capitol masih jauh. Cahaya dari Dome makin memancar karena
ternyata kubahnya sedang dipugar dan dikelilingi oleh besi-besi yang
memantulkan sinar kubah. Dari kejauhan, besi-besi tersebut bagai lilin kecil
yang mengitari kue ulang tahun tingkat tiga. Sayangnya, meski sudah beberapa
kali take, kami tidak bisa membingkai keindahan ini. Terlebih mentari pagi
mulai menyemburatkan cahaya orange-nya. Kami segera merangsek pergi memulai
petualangan.
Kawan, sebelumnya harus
kuberitahu, bahwa kawasan paling terpopuler di DC itu bisa dijangkau dengan
kaki. Dari mulai Union Station, berjalan saja ke selatan maka kalian akan
melewati Capitol, National Mall, Washington Monument, National World War II
Memorial hingga Lincoln Memorial. Dengan sedikit belok kiri dan belok kanan,
kalian juga bisa menemukan The White House, National Building Museum, Jefferson
Memorial, Marthin Luther King, Jr. Memorial dan masih buanyak lainnya. Hanya
saja, waktu sehari untuk bisa mengunjungi seluruh tempat tersebut dengan
berjalan kaki tentu saja tidak cukup. Apalagi dengan membawa tas gunung yang
berat, uang yang nge-press dan hujan mengguyur hampir seharian. Oleh karenanya,
sejak jam 6 pagi, kami sudah harus memulai perjalanan.
Sebenarnya, dari Union
Station, tinggal belok sedikit ke Selatan, sampailah kami di Capitol. Namun
karena masih gelap, aku mengusulkan untuk memutari bagian belakang US Capitol.
Ada begitu banyak gedung pemerintah bertebaran di sekeliling Capitol dengan
berbagai macam bentuk dan ukuran. Selain gedung pemerintah, ada juga
berderet-deret pemukiman dua hingga empat lantai yang saling menghimpit dengan
macam-macam warna. Di DC ini, tidak ada bangunan super tinggi laiknya di
Pittsburgh atau kota-kota besar lainnya. Aku berasumsi, mungkin peraturan ini
disengaja agar bangunan tertinggi di kawasan ini adalah Capitol dan Washington
Monument. Aku jadi teringat dengan Monas di Jakarta yang sekarang nasibnya
mulai terkungkung gedung-gedung yang jauh lebih tinggi dari bangunan berpucuk
obor emas itu. Andai peraturan di Jakarta juga seketat ini, Monas tentu masih
memiliki kedigdayaannya tersendiri sebagai simbol kejayaan Jakarta.
Kenikmatan jalan-jalan
pagi ini harus terhenti karena hujan tiba-tiba mengguyur keras. Hanya saja
lampu untuk pejalan kaki berwarna merah, melarang kami menyebrang. Apalagi di
seberang sana, kami melihat sekelompok polisi sedang patroli. Namun karena hujan
makin lebat, ditambah lagi keadaan jalan makin sepi, kami nekat menyebrang
untuk mencari tempat berteduh. Beruntung di salah satu sisi jalan, ada deretan
café yang memiliki kanopi sehingga kami bisa bebas dari tempias hujan dengan
memepetkan badan ke tembok.
Saat kami tengah
menunggu hujan reda, salah satu polisi berjalan ke arah kami. Wajahku langsung
memias, apakah ia akan menilang kami karena tadi nyebrang sembarangan? Untuk
meredakan degup kencang jantungku, aku memalingkan wajah, berpura-pura tak
melihat pak polisi berbadan tinggi dan tegap. Sekilas kulihat wajahnya agak
Asian, mungkin ia keturunan Filipina.
Tiga langkah lagi…
Dua langkah lagi…
Selangkah lagi…
Apa ia akan berhenti
dan menginterogasi kami?
Tidak, ia tidak
berhenti. Ia lewat begitu saja di depan kami.
Pfff… Betapa leganya
hatiku, selega hidung mampet berhari-hari dapat bernafas bebas lagi.
Beberapa
saat kemudian setelah hujan mereda, kami langsung merangsek maju, memulai
kembali perjalanan yang tertunda. Sayangnya, saat Capitol tinggal beberapa
langkah lagi, hujan kali ini tanpa ampun menghajar kami. Beruntung ada halte
kecil di samping kiri Capitol yang melindungi kami dari guyuran ganas ini.
Daripada mati gaya gara-gara hujan, kami kembali membuka bekal. Saat Bambang
membuka telur rebus gorengnya, seketika itu juga tercium bau khas telur rebus,
bagai bau sulfur dan amoniak.
“Mas, menurutmu, basi
gak telur ini?” Bambang menyodorkan telurnya.
“Wah… Udah bau busuk
ini, Bang…”
“Jadi, gimana nih?
Buang aja?” Bambang rupanya sedikit ragu. Membuang 6 butir telur rebus goreng
adalah hal terlarang bagi gembel kere seperti kami. Namun, apa mau dikata. Jika
telur tersebut terpaksa kami makan, kami khawatir nanti perut kami akan
memproduksi gas beracun bagi umat manusia. Mau tak mau, kami membuang telur
yang berpotensi menjadi granat perut itu ke dalam tong sampah di samping halte.
Setelah hujan mereda,
kami mulai melihat kehidupan di sekitar kami. Para turis yang tengah
melihat-lihat Capitol, penduduk sekitar yang sedang jogging, mobil-mobil yang
mulai merayap pelan. Kami segera bergegas memasuki pelataran Capitol yang kini
Dome-nya tidak lagi bercahaya seperti sejam yang lalu. Karena Dome-nya sedang
diperbaiki, sungguh tak sedap dipandang mata melihat Dome yang tadi anggun
menggoda bagai wanita cantik yang mengedipkan matanya sekarang bagai wanita tua
sakit gigi yang mengenakan salonpas di pipinya. Aku tak mengada-ada, dari
dekat, kini kami bisa melihat jelas pagar besi bagai duri tajam mengelilingi
kubah, belum lagi bentangan kain putih besar dan lebar yang menutupi sebelah
kiri Dome. Itulah mengapa kami menyebutnya Salonpas. Walhasil, pose kami di
depan Capitol diusahakan dengan berbagai gaya agar menutupi Salonpas raksasa
tersebut.
Saat tengah menikmati
Capitol, aku berkata pada Suamiku dan Bambang bahwa pertama kalinya aku ke
Capitol 5 tahun lalu, aku bertemu seorang wanita dari Indonesia bersama suami
dan bayi bule-nya. Tak dinyana, dua ibu-ibu (ato tante-tante?) menghampiri kami
dan tanpa basa-basi menuduh kami, “orang Indonesia ya?” Kontan kami terperanjat
dan langsung terpekik senang melihat dua wanita berambut hitam, berkulit
cokelat dan berwajah Jawa.
“Aaaa… senangnya ketemu orang Indonesia!” Kami lalu terkikik senang, tak menyangka kejadianku 5 tahun lalu kembali terulang lagi. Mereka mengatakan sedang liburan ke Amerika dengan menggunakan agen wisata dan terpisah dari rombongan. Kami mengatakan tadi kami barusan saja melihat gerombolan turis dari Asia. Dalam hati, aku menasihati mereka, “makanya jangan kebanyakan selfie sendiri Bu…tuh kan ketinggalan rombongan!” Namun yang keluar dari mulut manisku adalah “semoga ketemu rombongannya ya….”
Perjalanan
kami lanjutkan ke kawasan di sekitar National Mall. Meski namanya Mall, tak ada
jejeran toko baju di sini. Setelah kutarik garis persamaan antara Mall di
Cleveland dan di DC, bisa kudefinisikan bahwa Mall adalah taman rumput luas
persegi di tengah kota yang dikelilingi gedung-gedung tinggi di sekelilingnya.
Mirip-mirip kawasan taman Monas lah. Namun, yang khas dengan Mall di DC adalah
gedung-gedung yang mengelilinginya bukanlah gedung komersil melainkan
museum-museum gratis beraneka rupa yang dikelola Yayasan Smithsonian, dari
Museum Antariksa, Museum Seni, hingga Museum Indian.
Kalap ngeliat museum
gratis? Tentu saja! Suamiku yang tertarik dengan benda-benda angkasa langsung
mengajak masuk ke National Space and Air Museum yang penuh sesak dengan
macam-macam pesawat luar angkasa, roket, satelit buatan, dan lain-lainnya yang
tak kumengerti. Museum dua lantai ini begitu ramai oleh anak-anak yang sepulangnya
mereka nanti dari museum ini akan mengubah cita-citanya menjadi astronot,
persis seperti impianku dulu saat SD.
Meski gratis, museum
ini menyediakan dua kotak kaca untuk menerima donasi dari pengunjung yang
berasal dari berbagai belahan dunia. Bambang langsung mengenali uang kertas
berwarna ungu dengan gambar seorang pria gagah berkumis, mata nyalang, hidung
panjang, dagu lancip (aku baru sadar betapa tampannya lelaki yang setia
menemani dompetku selama belasan tahun ini). Nominalnya yang paling besar
sendiri 10000 (enol-nya empat!) tentu sangat mencolok dibanding uang kertas
lain yang angkanya pelit. Siapa lagi kalau bukan rupiah tercinta! Jika melihat
uang kertas senilai Rp. 10.000 ini, semua pengunjung pasti akan berdecak kagum,
“betapa dermawannya orang Indonesia! Mereka ngasih sumbangan sampe Rp. 10.000!
Tidak seperti bule Amrik yang nyumbang untuk negaranya sendiri amat pelit
begitu, cuma 1$!” Kenyataan bahwa $1 itu nilainya lebih besar dipanding Rp.
10.000 hanya akan kusimpan sendiri di dalam hati. Tak usah lah seluruh dunia
tau!
Puas mengelilingi
museum antariksa ini, kami pindah ke museum sebelah, yaitu National Museum of
The American Indian. Di sini tidaklah seramai museum sebelah, meski secara
bangunan, ia lebih besar dan terdiri dari empat lantai. Di lantai pertama kami
melihat perahoe tempo doeloe yang digunakan kaum Native American untuk
transportasi maupun mencari ikan. Kami lalu langsung naik ke lantai empat yang
memuat sejarah dan peta penyebaran kaum Indian. Penyebutan nama “Indian”
sebenarnya kurang tepat karena mereka bukanlah orang India seperti yang
disangkakan Columbus. Namun karena sebutan ini sudah melekat selama ratusan
tahun, sulit untuk menggantinya menjadi “Native American” karena memang kurang
praktis juga.
Rasa capai dan perut
merintih kelaparan memaksa kami untuk mengakhiri penjelajahan museum dan
mencari warung. Sayangnya, di luar ternyata lagi-lagi hujan! Bahkan sangat
lebat dan diperkirakan akan memakan waktu lama demi melihat langit yang begitu
kelam. Bambang lalu mengusulkan agar kami lunch di restaurant museum saja. Aku
mengangguk setuju namun keningku langsung mengkerut melihat harga yang tertera.
Karena terlanjur mengantri, aku langsung memesan Americano, kopi termurah yang
ada di sana. Suamiku kembali melahap brownies demi nama “penghematan sekaligus
peringanan beban punggung.”
Pengunjung kafe makin
lama makin penuh. Kami memilih ke luar kafe dan nongkrong di lantai 1 karena di
luar masih hujan lebat, melihat lagi perahu-perahu tipis panjang yang ternyata salah
satunya terbuat dari alang-alang. Sungguh mengagumkan bagaimana jalinan rumput
itu bisa mengapung sekaligus menahan beban berat manusia yang mendayung di
atasnya.
Saat melihat jam yang
menunjukkan sudah waktu duhur dan hujan mulai reda, kami sepakat untuk
mengambil wudlu dan mencari tempat solat di luar. Saat hendak bangkit berdiri,
aku menyenggol gelas kopi yang tutupnya tak rapat itu. Walhasil, seluruh isi
gelas langsung tumpah ruah dan terjun bebas mengalir di lantai museum. Wajahku
langsung pucat pasi. “Aduh…gimana nih?” Kami bertiga langsung mencari restroom
dan mengambil tissue sebanyak-banyaknya untuk mengelap tumpahan kopi. Aku yang
merasa bersalah karena telah mengotori lantai harus bolak-balik tiga kali untuk
mengambil tissue dan mengelap lantai.
Bambang yang melihat
ekspresi memelasku terkikik mengejek, “Mas Imas… Orang Indonesia dimana-mana
mental babunya kuat ya.. Gak usah bersih-bersih amat keles… Santai aja kali,
yang lain gak ada yang peduli kok!”
“Ini bukan masalah ngepelnya,
yang bikin aku sedih itu kopi harga $4 harus melayang sia-sia!” Huh…tau bakalan
tumpah, aku tadi gak usah beli kopi ini. Tapi hati kecilku memang takut nanti
dituntut pihak museum gara-gara mengotori lantai. Tanpa ba-bi-bu , aku langsung
ngacir ke luar museum setelah memastikan tumpahan kopi sudah tidak menggenang
lagi.
Di luar museum, langit
masih kelabu. Hujan bisa tumpah kapanpun. Mata kami selain menatap keindahan
museum-musem yang berjejer rapi, kami berusaha mencari tempat yang bisa kami
gunakan untuk bersujud. Hanya saja, dimana-mana tanah dan rumput masih sangat
basah, jika dipaksakan solat di atasnya, pakaian kami akan ikut-ikutan kotor
dan basah. Sebenarnya aku masih ingin memasuki semua musem itu satu persatu,
namun waktu sepertinya tidak memungkinkan karena masih ada banyak tempat yang
harus kami kunjungi. Dengan berat hati, aku mengikuti langkah kaki Suamiku dan
Bambang yang berjalan lurus ke arah Washington Monument yang sekarang mulai
nampak jelas guratannya. Dari tengah taman yang sedang mengalami rekonstruksi,
kami bisa melihat jelas baik Washington Monument maupun Capitol. Pemandangan
ini bakal benar-benar indah andai saja langit tidak muram seperti ini.
Kecil-kecil di tengah itu lah Washington Monument (poto diambil dari halaman Capitol) |
Artikel Terkait
Amerika
- Petualangan Hari Ke-2 di Pittsburgh, Pennsylvania
- Catatan Singkat untuk Para Pemimpi
- Petualangan Hari Ke-2 di Cleveland (Antara Harapan dan Kenyataan)
- Petualangan Hari ke-1 di East Lansing, Michigan
- Dua Pelajaran Berharga dari Dapurku
- Jilbabku; Bagaimana Kabarmu?
- A – Z PERBURUAN BEASISWA
- Berburu Beasiswa S2 ke Amerika Part-4 (The Black Hole)
- Berburu Beasiswa S2 ke Amerika Part-3 (Overdoses of Tests)
- Gado-Gado dari Amerika (Part 1 : Tentang Homeless)
- Apa yang Akan Kau Lakukan Jika Mendengar Jeritan di Hutan?
- Hal Yang Paling Menyedihkanku Saat di USA
- BERBURU BEASISWA S2 KE AMERIKA (Formulir Aplikasi dan Study Objective, part-1)
- Pemerintah; Siapa yang Benar-Benar Suka?
- Perjuangan Menggapai Beasiswa AMINEF (Global UGrad) Part-1
- Counting Down
- Pertahanan Diri vs Intuisi
- Pertalian Ruh dan Jiwa
travelling
sharing pengalaman
- Petualangan Hari Ke-2 di Pittsburgh, Pennsylvania
- Catatan Singkat untuk Para Pemimpi
- Petualangan Hari Ke-2 di Cleveland (Antara Harapan dan Kenyataan)
- Petualangan Hari ke-1 di East Lansing, Michigan
- Jadikan Ia Anugerah, Bukan Musibah
- Dua Pelajaran Berharga dari Dapurku
- Jilbabku; Bagaimana Kabarmu?
- Berburu Beasiswa ke Amerika Part 5 (PDO, VISA)
- A – Z PERBURUAN BEASISWA
- Di Suatu Pagi Saat Membeli Kopi....
- Berburu Beasiswa S2 ke Amerika Part-4 (The Black Hole)
- Berburu Beasiswa S2 ke Amerika Part-3 (Overdoses of Tests)
- Gado-Gado dari Amerika (Part 1 : Tentang Homeless)
- Apa yang Akan Kau Lakukan Jika Mendengar Jeritan di Hutan?
- Hal Yang Paling Menyedihkanku Saat di USA
- Berburu Beasiswa S2 ke Amerika Part-2 (Wawancara Oh Wawancara)
- Pemerintah; Siapa yang Benar-Benar Suka?
- Masa Lalu Tertinggal*
- Going to London for Free!
- Bulan Pertama Eksperimen Mengajar Dosen Ingusan
- Tak Kenal Maka Ta' Tendang
- *aku ingin mengubah dunia dengan caraku*: MbangMbingMbung
- Counting Down
- Pertahanan Diri vs Intuisi
The OMRDEALS easily setup an appointment directly from the services provider using our integrated contact option. To the best deals in your city and Take delivery in your hand.
BalasHapusOffers in Chennai