Guru teaterku saat Summer Courseku di Humboldt State University
memberikan PR, hal apa yang paling menyenangkan, mengejutkan,
menyedihkan, dan juga yang teraneh. Maklum, kelas musim panas ini
(meski namanya musim panas, tapi suhunya sekitar 18 derajat C) terdiri dari 10 murid dari negara yang berbeda semua, pastilah ada
cultural shock bagi pendatang baru seperti kami ini. Jawaban dari mereka
berbeda-beda, namun tetap satu jua. Semodern apapun negeri Paman Sam
ini, kami tetap rindu setengah mati pada negeri yang kami tinggalkan
sekitar seminggu yang lalu. Berbagai hal menarik dikemukakan oleh teman-teman. Ada yang terkejut dengan adanya gelandangan,
ada yang senang dengan lingkungan kampus dan kota yang mungil dan asri,
ada pula yang aneh dengan beberapa jenis masakan di sini.
Ketika
giliranku untuk mengemukakan hasil perenunganku selama 2 mingguan di AS,
aku bilang bahwa,"telepon umum adalah hal yang paling membuatku sedih".
Ssshhhttt.... Tiba-tiba kelas senyap dan sepi karena ternganga
mendengar pernyataanku itu.
"Mengapa bisa benda mati bagai telepon umum bisa membuatnya sangat sedih?" itulah yang ada di benak teman sekelas karena wajah mereka diliputi kebingungan.
Sesaat kemudian kukemukakan alasanku.
"Coba bayangkan,
ketika kalian ingin mendengarkan suara keluarga, pacar atau teman, Anda
rela membawa koin minimal 1 $. Namun, apabila sambungan telepon tidak juga
mengantarkan kalian pada suara-suara yang kalian rindukan, Anda akan
lebih sedih lagi saat mengetahui bahwa koin 1$ mu lenyap! Telepon umum tak peduli
apakah telepon kalian tersambung atau tidak karena yang dia pedulikan adalah kalian telah mengganggu dia dari tongkrongannya! Aku pernah mencoba menelpon berkali-kali, 3 $ ludes tak tahu rimbanya meski teleponku tak tersambung sama sekali."
Sejurus kemudian perkataanku mulai menjalar
ke dalam sistem otak mereka. Namun, bukannya sedih seperti yang kurasakan, mereka malah tertawa mendengar pernyataanku.
Aku tak mengerti
mengapa kesedihanku ini malah disambut tawa gelak teman-teman. Tak kah
mereka rasakan bahwa kehilangan uang 1$ bisa membuat mood seseorang kere
sepertiku menjadi bete sebete-betenya? Sungguh, susah juga hidup
menjadi orang miskin di negeri yang kaya raya ini.
Tapi aku akhirnya sadar satu hal, orang yang bermental miskin akan
meratapi koin yang terbuang bagaikan anak tiri yang disuruh menyuci di
pinggir kali. Lain halnya dengan orang yang berjiwa kaya. Ia akan
menyongsong dollar dengan semangat bagai anak tiri yang akhirnya
dibawakan mesin cuci. Apakah majas simili-ku cukup mewakili apa yang kugambarkan? Jika tidak, semoga guru bahasa indonesiaku tidak membaca tulisan
ini :)
*tulisan hampir 5 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar